DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh menegaskan bahwa surat pernyataan ketidakmampuan penanganan bencana yang dikeluarkan sejumlah bupati/wali kota bukanlah dasar untuk menetapkan status bencana nasional.
Pernyataan itu merupakan syarat administratif untuk meningkatkan status bencana menjadi tingkat provinsi.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, menjelaskan bahwa sejumlah kepala daerah, di antaranya Bupati Gayo Lues dan Bupati Aceh Tengah, Bupati Aceh Selatan, Bupati Pidie Jaya telah mengeluarkan surat pernyataan ketidakmampuan dalam melaksanakan upaya darurat bencana banjir dan longsor di daerah masing-masing.
“Pernyataan ketidakmampuan kabupaten/kota merupakan salah satu syarat peningkatan status bencana menjadi bencana tingkat provinsi. Dan hal ini sudah dilakukan oleh Gubernur Aceh dengan menetapkan banjir dan longsor sebagai Bencana Aceh,” kata MTA kepada wartawan di Banda Aceh.
Ia menepis isu bahwa surat tersebut menjadi dasar penetapan status Bencana Nasional oleh Presiden.
“Beredar isu bahwa pernyataan kab/kota tersebut menjadi dasar penetapan Bencana Nasional oleh presiden, tidaklah demikian,” tegasnya.
MTA menambahkan, Presiden telah meninjau langsung lokasi terdampak di Sumatera, termasuk Aceh, pada Senin, 1 Desember 2025, sebagai bentuk perhatian dan langkah percepatan penanganan.
“Langkah-langkah penanganan bencana ini dipastikan di bawah supervisi pusat, dengan dukungan seluruh perangkat dan komponen kebencanaan,” ujarnya. Pemerintah Aceh berharap semua pihak fokus pada penanganan bencana tanpa memperdebatkan informasi yang menyesatkan.
Update Dampak Bencana di Aceh
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Aceh M. Nasir memimpin rapat evaluasi harian penanganan bencana hidrometeorologi di Pos Komando Tanggap Darurat, Senin, 1 Desember 2025.
Dalam laporan terbaru, bencana melanda 18 kabupaten/kota, mencakup 226 kecamatan dan 3.310 desa, dengan total terdampak 214.382 kepala keluarga atau 1.418.872 jiwa. Sementara itu, tercatat 1.435 korban luka ringan, 403 luka berat, 173 meninggal dunia, dan 204 masih hilang.
Jumlah pengungsi mencapai 443.001 jiwa yang tersebar di 828 titik.
Kerusakan infrastruktur juga meluas, meliputi 138 fasilitas kantor, lebih dari 200 sekolah, sejumlah pesantren, 302 titik jalan rusak atau amblas akibat terjangan air, serta 142 jembatan terdampak. Selain itu, tercatat 77.049 unit rumah rusak, 182 ternak hilang, serta sawah dan kebun yang terdampak seluas lebih dari 205 ribu hektare.