Minggu, 02 November 2025
Beranda / Berita / Mengapa Aceh Tak Pernah Akur dengan Steffy Burase?

Mengapa Aceh Tak Pernah Akur dengan Steffy Burase?

Sabtu, 01 November 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Steffy Burase bukan sekadar nama. Ia bagaikan gema yang tak benar-benar diterima di Aceh. Setiap langkahnya, dari panggung konser hingga lintasan marathon, berujung pada pembatalan, gugatan, atau penghakiman. 

Ketika konser Sumpah Pemuda 2025 yang menghadirkan Slank disebut digembok oleh Dispora Aceh, bukan hanya ormas yang bersuara. Granat ikut pula menyalahkan, publik bersorak, dan Steffy kembali menjadi sasaran. 

Tapi ini bukan pertama kalinya. Pada 2018, Aceh Marathon yang ia bantu menggagasinya gagal, tenggelam bersama kasus korupsi yang menyeret suaminya, Irwandi Yusuf. 

Di antara cinta, dakwaan, dan hijrah menjadi mualaf, Steffy Burase terus mencoba bicara di panggung Aceh, Namun, panggung itu selalu saja masih ditutup sebelum ia sempat menyampaikan.

Padahal, Konser Sumpah Pemuda 2025 bisa menjadi ruang perayaan: musik, kampanye anti-narkoba, dan refleksi dua dekade perdamaian pasca-Helsinki. Bahkan juga ruang “kembali” bagi Steffy sendiri. 

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dua minggu sebelum acara, disebut ada ancaman yang datang dari ormas yang menolak konser. Lalu, Dispora Aceh juga dikabarkan mengunci venue secara sepihak. 

Bahkan, Granat, yang semula mendukung, berbalik menyalahkan EO. Steffy, sebagai promotor, dituding tidak profesional. ( Kisah lengkapkanya silakan baca indept Dialeksis.com, mengulik batalnya Konser Slank di Aceh).

Steffy pun membalas dengan kalimat tajam,“Sering kali yang mengaku bawa syariat justru bawa syahwat kepentingan.” 

Kalimat itu mengguncang, bukan hanya karena isinya, tapi karena keberanian seorang perempuan untuk menyebut kemunafikan moral di ruang publik Aceh. Ruang publik di Aceh pun kembali dibuat panas. 

Aceh Marathon 2018 adalah babak sebelumnya. Event olahraga internasional yang digagas dengan semangat promosi pariwisata dan rekonsiliasi, justru ditunda mendadak. Peserta rugi, EO disalahkan, dan Steffy kembali jadi wajah kegagalan. 

Padahal, penundaan itu terjadi di tengah badai politik: kasus korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang menjerat Irwandi Yusuf. Nama Steffy ikut terseret dalam penyelidikan, meski tak berstatus tersangka. 

Ia menjadi simbol dari sesuatu yang lebih besar, bagaimana perempuan yang dekat dengan kekuasaan, seni, dan ekspresi, selalu dicurigai.

Di balik semua itu, siapa sebenarnya Steffy Burase? Lahir di Manado, berkarier sebagai model, tampil di video klip, lalu hijrah ke Aceh. Ia menjadi mualaf, mengenakan hijab, dan aktif dalam kegiatan sosial. Ia bukan hanya istri mantan pejabat, tapi perempuan yang mencoba masuk ke ruang publik Aceh dengan cara yang berbeda. 

Apakah karena keberaniannya tampil dan bicara, ia menjadi sasaran tafsir moral, penghakiman sosial, dan pembatalan administratif. Atau, karena dirinya pernah disebut perempuan smart hingga itu melampaui tatanan sosial Aceh yang didominasi lelaki? 

Maka pertanyaannya bukan lagi soal konser atau marathon. Pertanyaannya: apakah Aceh tak siap dengan perempuan seperti Steffy Burase? Atau, Steffy Burase yang tak cocok dengan Aceh? 

Tajuk (editorial) ini bukan pembelaan personal, apalagi punya maksud menohok seseorang, siapapun orangnya. Ini adalah ajakan untuk refleksi sosial. Jika Aceh tak pernah akur dengan Steffy Burase, atau sebaliknya apakah itu karena Steffy terlalu smart, berani. Atau karena Steffy tak mungkin bisa akur dengan Aceh yang punya ritmenya sendiri?

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI