Rabu, 12 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi di Taman Sari Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi di Taman Sari Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Rabu, 12 November 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Aceh menggelar aksi damai di Taman Bustanussalatin, Banda Aceh pada Rabu, 12 November 2025. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Aceh menggelar aksi damai di Taman Bustanussalatin, Banda Aceh pada Rabu, 12 November 2025.

Mereka menolak keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Mereka menilai keputusan tersebut bukan hanya bentuk kebijakan yang buta sejarah, tetapi juga sebuah upaya menghapus luka panjang bangsa, terutama bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.

Pantauan media dialeksis.com, aksi berlangsung sejak pukul 16.00 WIB itu diwarnai dengan orasi, pembacaan pernyataan sikap, serta pembentangan spanduk bertuliskan Soeharto Bukan Pahlawan dan Tolak Pengaburan Sejarah.

Massa berasal dari berbagai organisasi, di antaranya Achenese Civil Society Task Force (ACSTF), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh, serta Solidaritas Persaudaraan Keluarga Korban Pelanggaran HAM (SPKP) Aceh.

Koordinator aksi, Rahmad Maulidin, dalam orasinya menyebut, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah pukulan telak bagi nurani bangsa dan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah perjuangan demokrasi.

“Soeharto bukan simbol perjuangan, melainkan simbol penindasan. Selama 32 tahun berkuasa, ia menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, membungkam kebebasan pers, menculik dan membunuh yang kritis, serta menanamkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bagaimana mungkin seorang pelaku pelanggaran HAM berat dan korupsi diangkat menjadi pahlawan?” ujar Rahmad.

Dalam pernyataannya, Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menolak Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang ditetapkan pada 10 November 2025. 

Mereka menilai kebijakan Presiden Prabowo tersebut melanggar prinsip kemanusiaan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (UU GTK).

Koalisi menilai, langkah Prabowo tidak hanya bertentangan dengan asas keadilan dan keterbukaan dalam Pasal 2 UU GTK, tetapi juga mengabaikan Pasal 25 yang menegaskan bahwa penerima gelar kehormatan harus memiliki integritas moral, keteladanan, serta tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara.

“Rekam jejak Soeharto jelas berdarah dan penuh kebengisan. Ia bertanggung jawab atas ribuan korban jiwa di Aceh, Papua, dan berbagai daerah lain. Ia tidak memenuhi syarat moral maupun hukum untuk disebut pahlawan,” tegas Rahmad Maulidin.

Dalam aksi tersebut, para aktivis mengingatkan kembali masa kelam Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang berlangsung antara tahun 1989 hingga 1998. Pada masa itu, kata Rahmad, masyarakat Aceh hidup dalam ketakutan. Penangkapan tanpa dasar hukum, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan di luar proses hukum menjadi kisah nyata yang masih membekas.

“DOM adalah periode paling gelap dalam sejarah Aceh. Ribuan orang meninggal, ratusan lainnya hingga kini belum diketahui nasibnya. Memberi gelar pahlawan kepada dalang dari kebijakan itu sama saja menampar wajah para korban dan keluarga mereka,” ucapnya.

Koalisi juga menyinggung bahwa negara sendiri telah mengakui adanya 12 pelanggaran berat HAM di Indonesia, dan sembilan di antaranya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Dua di antaranya bahkan terjadi di Aceh yakni Tragedi 1965-1966 dan Tragedi Rumoh Geudong serta Pos Sattis (1989-1998).

Selain substansi penolakan, Koalisi juga menyoroti proses penetapan gelar yang dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) disebut bahkan tidak pernah melihat dokumen lengkap usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

“Prosesnya kilat, seolah dipaksakan. Usulan itu tidak datang dari masyarakat bawah sebagaimana mestinya, melainkan dari lingkaran kekuasaan. Ini menyalahi prosedur dan menodai makna gelar kehormatan itu sendiri,” lanjut Rahmad.

Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menegaskan bahwa keputusan Presiden Prabowo tersebut berpotensi mengembalikan Indonesia ke arah otoritarianisme. 

Mereka mengingatkan bahwa melupakan masa lalu sama dengan membuka jalan bagi pengulangan kekejaman di masa depan.

“Upaya mengaburkan sejarah adalah bentuk penyesatan kebenaran. Ini bukan sekadar soal gelar, tapi soal memori kolektif bangsa. Jangan jadikan korban pelanggaran HAM sebagai bahan politik kekuasaan,” kata Rahmad.

Dalam pernyataan penutup, Koalisi menyerukan agar masyarakat tetap kritis terhadap segala bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan. Mereka mendesak pemerintah untuk mencabut Keppres Nomor 116/TK/2025 dan menghentikan upaya memutihkan sejarah kelam bangsa.

“Kita tidak menolak penghormatan terhadap tokoh bangsa, tapi jangan sampai penghormatan itu diberikan kepada mereka yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah pengkhianatan terhadap sejarah dan terhadap korban,” tutup Rahmad Maulidin.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI