Kamis, 30 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Abu Salam Minta ESDM Audit Total dan Cabut Izin Tambang Bermasalah

Abu Salam Minta ESDM Audit Total dan Cabut Izin Tambang Bermasalah

Rabu, 29 Oktober 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Penasehat Gubernur Aceh Bidang Investasi dan Hubungan Luar Negeri, T. Emi Syamsyumi, yang akrab disapa Abu Salam dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Pertambangan Aceh yang diselenggarakan oleh Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Aceh Info dan Puja TV di Banda Aceh, Selasa (28/10/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penasehat Gubernur Aceh Bidang Investasi dan Hubungan Luar Negeri, T. Emi Syamsyumi, yang akrab disapa Abu Salam, mendesak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh untuk mengambil langkah tegas terhadap perusahaan tambang yang teridentifikasi bermasalah.

Ia menegaskan, ESDM harus memanggil satu per satu perusahaan yang melanggar aturan agar wibawa pemerintah dan kepercayaan investor dapat dipulihkan.

Desakan ini disampaikan Abu Salam dalam diskusi bertajuk Masa Depan Pertambangan Aceh di Banda Aceh, Selasa (28/10/2025).

Menurutnya, langkah tegas sangat diperlukan mengingat laporan investigasi terbaru yang dirilis pada Oktober 2025 menunjukkan krisis sistemik dalam tata kelola pertambangan di Aceh.

“Data ini sangat mengkhawatirkan. ESDM harus segera memanggil mereka semua, satu per satu. Jangan ada yang ditutupi,” tegas Abu Salam.

Laporan yang dikonsolidasikan dari temuan Pansus Minerba DPRA, Kementerian ESDM, dan WALHI Aceh itu mengungkap adanya potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. Dari satu perusahaan saja, yakni PT Mifa Bersaudara, ditemukan dugaan pengemplangan pajak PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) sebesar Rp45,39 miliar dalam periode 2012-2024.

“Itu baru dari satu perusahaan. Jika ditelusuri keseluruhan, potensi kerugian negara bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Ini sudah di luar batas toleransi,” tegasnya.

Selain PT Mifa Bersaudara, laporan tersebut juga memuat 30 perusahaan tambang bermasalah dan 34 perusahaan pemegang IUP Eksplorasi yang tidak melakukan aktivitas apa pun sejak izin diterbitkan. Artinya, dari total sekitar 67 izin usaha pertambangan (IUP) yang ada di Aceh, hampir semuanya bermasalah.

“Ini lampu merah bagi tata kelola investasi Aceh. Jika dibiarkan, akan semakin sulit menarik investor serius untuk datang,” ujar Abu Salam.

Perusahaan-perusahaan bermasalah itu dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama, kategori teguran keras Kementerian ESDM tahun 2022, yang mencakup 11 perusahaan karena pelanggaran administratif berat, seperti tidak menyampaikan dokumen reklamasi dan pelanggaran AMDAL serius.

Di antaranya PT Beri Mineral Utama, PT Estamo Mandiri, PT Juya Aceh Mining, PT Lhoong Setia Mining (yang juga terjerat kasus pencemaran lingkungan), dan PT Magellanic Garuda Kencana.

Kedua, kategori pelanggaran moratorium tambang 2024“2025, yang melibatkan 10 perusahaan dengan indikasi konflik kepentingan dan persekongkolan bisnis. Di antaranya PT Aceh Jaya Bara Utama, PT Abdya Mineral Prima, dan PT Buana Alam Sejahtera.

Ketiga, kategori pelanggaran berat, yang mencakup sembilan perusahaan dengan dugaan pengemplangan pajak, sengketa wilayah, serta manipulasi dokumen izin.

Di kategori ini, nama PT Mifa Bersaudara kembali muncul bersama PT Agrabudi Jasa Bersama (AJB) dan tujuh perusahaan konsesi emas seperti PT Draba Mineral Internasional dan PT Alexa Tambang Abadi.

Sebagai penasehat gubernur bidang investasi, Abu Salam menegaskan bahwa langkah tegas terhadap pelanggaran tambang bukan berarti pemerintah anti terhadap investasi. Justru, kata dia, penegakan aturan adalah kunci untuk menciptakan iklim investasi yang sehat, bersih, dan transparan.

“Bagaimana investor serius mau datang kalau tata kelolanya bobrok dan tidak ada kepastian hukum? Kepercayaan adalah mata uang utama dalam investasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Abu Salam mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) pengawasan tambang agar kegiatan pertambangan di Aceh bisa berjalan maksimal dan diawasi ketat. Ia juga menyoroti perlunya keberpihakan terhadap masyarakat Aceh dalam setiap proyek investasi, termasuk di sektor perkebunan dan pengelolaan limbah B3.

“Selama ini kita membayar ratusan miliar rupiah ke luar Aceh untuk pembakaran limbah B3. Kenapa tidak kita bangun fasilitasnya di sini agar PAD Aceh meningkat?” katanya.

Abu Salam juga menyinggung ketimpangan dalam rekrutmen tenaga kerja lokal di perusahaan besar seperti PTPN. Dari 10.000 karyawan, hanya sekitar 500 yang berasal dari Aceh.

"Ini tidak adil. Kita ingin anak-anak Aceh punya ruang kerja di tanah sendiri,” ujarnya.

Ia menegaskan, Aceh memiliki sumber daya alam melimpah dan bisa meniru keberhasilan daerah seperti Western Australia yang berhasil menyejahterakan warganya melalui tata kelola tambang yang profesional.

“Tambang itu bukan masalah. Yang jadi masalah adalah kalau tambang tidak dikelola dengan benar. Jika 30 tambang di Aceh berjalan baik, setidaknya bisa menyerap ribuan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan daerah,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI