Abu Salam Siap Fasilitasi Pertemuan Mualem dengan Petronas Terkait Penghapusan Barcode BBM
Font: Ukuran: - +

Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik penghapusan sistem barcode BBM di Aceh memasuki babak baru.
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam, menegaskan bahwa jika Pemerintah Pusat tidak mengabulkan permintaan Pemerintah Aceh, maka Aceh siap bertindak lebih jauh.
“Kami bangsa Aceh tidak akan tinggal diam. Jika Pemerintah Pusat tetap bersikeras, maka kami akan membawa investor untuk membangun Pertamina versi Aceh sendiri, atau menghadirkan Petronas dan sejenisnya untuk Aceh,” tegas Abu Salam dalam keterangannya, Rabu (19/02/2025).
Pernyataan ini bukan sekadar ancaman kosong. Aceh memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola sumber daya minyak dan gas (migas) secara mandiri, sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Aceh Punya Hak Mengelola Migas Sendiri
Dalam MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005, terdapat klausul yang secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alamnya, termasuk migas.
Hal ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pasal 160 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Pemerintah Aceh berhak mengelola sumber daya alam, termasuk minyak dan gas bumi di wilayahnya.”
Sementara pada ayat (2) ditegaskan bahwa Aceh berhak memperoleh 70% dari hasil minyak dan gas bumi yang diproduksi di wilayahnya.
Namun, selama ini Aceh hanya mendapatkan persentase kecil dari total produksi migasnya.
Bahkan, pengelolaan migas masih didominasi oleh Pemerintah Pusat dan Pertamina, tanpa ada keterlibatan signifikan dari Pemerintah Aceh.
“Migas di perut bumi Aceh ini bukan milik Jakarta, tapi milik rakyat Aceh! Kenapa kami dipaksa tunduk pada regulasi yang membatasi akses rakyat terhadap BBM bersubsidi? Jika keadilan tidak ditegakkan, kami akan bertindak,” lanjut Abu Salam.
Menjaga Marwah Mualem, KPA Siap Mengawal
Wacana penghapusan barcode BBM yang digaungkan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem bukan sekadar isu teknis, tetapi menyangkut harga diri dan martabat rakyat Aceh.
Sebagai Gubernur sekaligus Ketua Umum KPA, Mualem memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kebijakan yang berpihak kepada rakyatnya berjalan tanpa hambatan dari pusat.
“Kami, KPA Luwa Nanggroe, siap mengawal dan memastikan kebijakan ini terealisasi. Ini bukan sekadar kebijakan energi, tetapi juga simbol bagaimana Aceh diperlakukan secara adil dalam bingkai NKRI,” tegas Abu Salam.
Bagi KPA, kebijakan ini adalah ujian bagi Pemerintah Pusat dalam menghormati status khusus Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki.
Jika pusat tetap menutup mata terhadap tuntutan Aceh, maka langkah strategis lain akan segera ditempuh.
“Kami tidak ingin ada pihak yang coba-coba menjatuhkan marwah Gubernur Aceh. Ini bukan sekadar soal barcode, ini tentang bagaimana Aceh diperlakukan sebagai bagian dari Indonesia dengan hak-hak yang jelas dalam kesepakatan damai,” tambahnya.
Mengapa Aceh Harus Bergantung pada Jakarta?
Wacana menghadirkan Petronas atau investor asing lainnya bukan sekadar gertakan. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Aceh memiliki hubungan historis dan strategis dengan Negeri Jiran.
Petronas, sebagai perusahaan migas milik Malaysia, telah sukses beroperasi di berbagai negara dan bisa menjadi alternatif bagi Aceh jika pusat terus menghambat kemandirian energi di Tanah Rencong.
Langkah ini juga bukan tanpa preseden. Sebelumnya, beberapa negara bagian di Malaysia, seperti Sarawak dan Sabah, telah berhasil mendapatkan hak pengelolaan migasnya secara lebih otonom dari pemerintah pusat.
“Kalau pusat terus mempersulit Aceh, kita siap melakukan hal yang sama. Kita bisa mengundang Petronas atau investor lain untuk mengelola sumber daya kita sendiri, tanpa bergantung pada Jakarta,” kata Abu Salam.
Peringatan untuk Pemerintah Pusat
Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf-Fadhlullah telah menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan hak rakyat Aceh dalam mendapatkan akses BBM yang lebih adil.
Jika pusat tetap memaksakan sistem barcode yang tidak berlaku di daerah lain, maka Aceh tidak punya pilihan selain mengambil langkah drastis.
“Kami bukan meminta-minta, kami menuntut hak kami! Jika keadilan tidak diberikan, maka kami akan mengambil langkah strategis demi kepentingan rakyat Aceh,” tegas Abu Salam.
Aceh bukan sekadar provinsi biasa. Dengan statusnya sebagai daerah yang memiliki perjanjian khusus dalam MoU Helsinki dan UUPA, Aceh memiliki dasar hukum untuk menentukan arah kebijakan ekonominya sendiri, termasuk dalam pengelolaan migas.
Jika Pemerintah Pusat tetap menutup telinga terhadap tuntutan ini, bukan tidak mungkin Aceh benar-benar akan menghadirkan alternatif baru dalam sektor energi.
Dan ketika saat itu tiba, pusat tidak bisa lagi memaksa Aceh tunduk pada kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyatnya.[]
Berita Populer

.jpg)