Aceh Masih Punya Tantangan Serius Soal Keberagaman dan Toleransi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Biyu
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerhati Syariat Islam dan Sosial Politik, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman menilai pengelolaan keberagaman dan toleransi di Aceh masih punya tantangan yang cukup serius, yang mesti dibenah oleh para pemangku kebijakan dan stakeholders terkait.
Hal itu disampaikannya TM Ja'far Sulaiman mengacu pada hasil survei dimana Aceh sudah beberapa kali masuk kategori wilayah yang intoleran. Menurutnya, terlepas pro kontra, hal ini harus menjadi catatan serius bagi Pemerintah Aceh untuk menutupi celah-celah yang intoleran.
"Aceh sudah beberapa kali masuk dalam kategori wilayah yang intoleran, seharusnya itu menjadi cemeti sekaligua spirit untuk berbenah. Selama ini, Pemerintah Aceh, memahami toleransi dengan tafsir kekuasaan yang seolah-olah bisa melakukan apa saja, tidak memahami dengan tafsir kemanusiaan atau humanisme," ujar TM Ja'far kepada media ini, Minggu (11/4/2021).
"Pemerintah Aceh, selalu mengukur Islami dalam semangat kekhususan yang sangat eksklusif, padahal salah satu indikator Islami adalah adanya regulasi, ruang yang kondusif dan setara bagi praktek dan promosi toleransi dengan semangat multikultural, yaitu semangat yang bisa merayakan keberagaman dan perbedaan secara setara, nyaman dan aman," sambungnya.
TM Ja'far menuturkan, akar kata toleransi sebenarnya sangat indah sekali yaitu tolerantia, tolerare,yang artinya kelapangan, kelembutan hati, keringan dan kesabaran. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan tolerance yang artinya membiarkan. Padanan kata dalam bahasa Arab adalah tasamuh yang berarti tenggang rasa, lapang dada, bermurah hati terhadap segala perbedaan dan keberagaman". Dalam bahasa Indonesia, toleransi adalah sifat atau sikap mendiamkan, membiarkan.
Menurutnya, definisi toleransi dalam meneropong bagaimana seharusnya peran Pemerintah Aceh, yaitu kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan praktek yang beragam dan menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku atau praktek-praktek keberagaman, sekalipun tidak setuju, tidak sependapat, tidak suka.
"Sekalipun punya kekuasaan untuk memberhentikan tetapi itu tidak mesti digunakan dan membiarkan saja semua praktek beragam tersebut berjalan, yang tidak hanya terkait agama namun juga terkait dengan kebebasan ekspresi lainnya," imbuh TM Jafar, yang juga Direktur Filosofi Institute
Dia turut menjelaskan bahwa intoleransi adalah "Ketidak mampuan menahan diri dari tidak suka kepada yang lain. Artinya, ketidak sukaan itu ditunjukkan dengan tindakan dan perkataan; Sikap mencampuri atau menentang atas keyakinan atau perbedaan yang lain; Sengaja mengganggu yang lain.
TM Jafar, yang juga Direktur Filosofi Institute memaparkan, toleransi dan keberagaman akan terinternalisasi jika kekuasaan manusia memahami dua fondasi penting berikut ini.
Pertama; Tidak ada manusia yang bisa memilih, ketika lahir, untuk lahir di negara tertentu, dalam keluarga dengan agama tertentu, suku tertentu, ras tertentu, jenis kelamin tertentu.
"Ketidak bisaan dan ketidak mampuan ini sejatinya harus dipahami sebagai keseteraan dan kesamaan derajat antar manusia dengan beragam latar belakanganya. Dan semua keberagaman tersebut baik agama, kepercayaan, suku, bahasa, jenis kelamin, masing- masing punya keunikan yang tidak bisa dibanding-bandingkan (incommensurability)," jelasnya.
Kedua; Belajar tasawuf, mempraktekkan tasawuf (bukan kajian), belajar filsafat untuk lebih dekat kepada kompromi-kompromi terhadap segala perbedaan.
"Karena, pola pikir Arab dan Islam pada umumnya dibentuk atau berpangkal tolak dari prinsip-prinsip agama dibanding tasawuf dan filsafat, sehingga jika pola pikirnya dibentuk oleh doktrin dan dogma agama, maka yang terjadi adalah suka hitam putih, mutlak-mutlakkan, suka mencari-cari kesalahan yang lain untuk menunjukkan dia yang benar. Agama sulit sekali mengenal kata kompromi," demikian pungkas TM Jafar.