kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Adat Seumapa dan Narit Maja Dibina di Abdya, Kerja MAA Provinsi Dipertanyakan

Adat Seumapa dan Narit Maja Dibina di Abdya, Kerja MAA Provinsi Dipertanyakan

Jum`at, 19 November 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar
Guru Besar USK, Prof Mohd Harun. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Prof Mohd Harun mengapresiasi langkah Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Aceh Barat Daya (Abdya) yang menggelar kegiatan pembinaan adat seumapa dan narit maja se-kabupaten Abdya.

"Alhamdulillah, kita mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada MAA Abdya yang sudah mulai tahu posisi diri. Saya juga mempertanyakan MAA Provinsi Aceh, sebenarnya kerja mereka apa sekarang? Saya mengapresiasi MAA Abdya yang sudah melaksanakan tanggungjawab moralnya sebagai pembina adat," ujar Prof Mohd Harun kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Jumat (19/11/2021).

Mengenal Lebih Dekat dengan Adat Seumapa

Prof Mohd Harun menjelaskan, seumapa merupakan adat Aceh yang kerap dilaksanakan dalam prosesi sebuah pernikahan.

Di masa dulu, ungkap dia, adat pantun seumapa ini dilaksanakan dari awal meminta calon istri untuk dipinang hingga berlanjut sampai pemberian nasihat dari orangtua kepada kedua mempelai.

Berpatokan pada adat seumapa di masa lalu, apabila pihak mempelai pria kalah pantun, pihak tuan rumah dari wanita kadang tak akan membuka pintu rumah untuk masuk, sehingga mempelai pria yang kalah akan pulang dan akad nikah pun tak jadi dilakukan hari itu.

Adat seumapa ini mengajarkan kepada manusia terhadap nilai berusaha. Sehingga perjuangan untuk meraih sesuatu tak akan bisa diraih secara instan.

Dalam hal pernikahan, adat seumapa ini juga menjadi semacam manifestasi perjuangan kaum pria untuk meminta meminang seorang gadis dari orangtuanya dengan hati yang tulus. 

Menurut Prof Harun, adat seumapa di Aceh perlu dimodernisasi, direvitalisasi dan diaktualisasikan kembali sesuai perkembangan jaman saat ini.

"Adat pantun seumapa itu perlu kita lestarikan dan kita sesuaikan dengan masa kini. Artinya dimodernisasi, disesuaikan dengan perkembangan jaman terkini," tuturnya.

Berdasarkan fenomena sekarang, Prof Harun juga tak memungkiri minimnya pelakon pantun di Aceh. 

Bercermin pada jaman dulu, Prof Harun mengatakan jika di setiap kampung dulu, pasti ada seseorang yang didapuk sebagai pemantun bagi kampungnya.

Namun, seiring waktu pelakon pantun di desa-desa mulai menghilang. Padahal, menurut Prof Harun, semua orang Aceh mempunyai jiwa penyair, tetapi minim kesempatan untuk berkembang.

"Kalau ada anak-anak kita yang berpotensi jadi pemantun, silahkan dilanjutkan (dibudidaya). Jika dikelola dengan baik, pemantun itu bisa menjadi sebuah profesi. Kalau profesi itu didalami dengan baik, Insyaallah dia bisa hidup dengan profesi itu," kata penulis buku Memahami Orang Aceh itu.

Mengenal Lebih Dekat dengan Hadih Maja

Di masa lalu, istilah hadih maja disebut narit maja. Seiring perkembangannya, narit maja banyak mengadopsi nilai-nilai Keislaman, sehingga sebutan populer kemudian disebut Hadih Maja.

Tak sama seperti adat seumapa, istilah hadih maja secara bahasa menurut Prof Harun adalah kata-kata mutiara nenek moyang.

Kata-kata mutiara nenek moyang itu, kata dia, mempunyai kandungan hikmah dan nilai-nilai edukatif bagi masyarakat.

Guru besar USK itu menyebutkan, alasan mengapa hadih maja diciptakan secara bersajak ialah supaya memudahkan untuk dilafal dan diingat masyarakat.

"Ungkapan nenek moyang pada jaman dulu itu sudah didesain dan dipikirkan sedemikian rupa. Sehingga diciptakan dalam bahasa bersajak agar mudah kita ingat," ungkapnya.

Salah satu contoh kalimat hadih maja ialah, "Leumoh, Leumbot, Meunurot, Meubahgia. Jikrang, Ceukang, Bantahan, Ceulaka." 

Secara pemaknaan, Prof Harun menjelaskan, apabila seseorang berlaku sopan santun, patuh kepada kedua orangtua, patuh terhadap guru, maka hidupnya akan bahagia.

Apabila seseorang suka membantah, tidak mau mendengar kata orang, menyepelekan nasihat orang, maka hidupnya akan binasa.

"Nah, itu contoh dari varian berbagai tingkah polah manusia. Jadi dibahasakan dalam bahasa bersajak oleh orangtua kita yang kemudian dinamakan sebagai hadih maja," terangnya.

Tak hanya soal tingkah laku manusia, sebut Prof Harun, hadih maja di Aceh sudah mengemas begitu banyak hal, dari persoalan sosial hingga individual.

Ia berharap agar ke depan muncul pemuda-pemuda kreatif di Aceh yang ikut menciptakan hadih maja baru, atau mengembangkan kearifan lokal ini dengan perkembangan jaman.

Sehingga, lanjutnya, dengan melestarikan hadih maja, kemudian dikembangkan ke level tertinggi, maka akan muncul rasa memiliki bagi generasi Aceh.

"Mari kita lestarikan yang sudah ada, yang baru mari kita kembangkan. Dengan demikian, ada rasa memiliki generasi muda kita saat ini," pintanya.

Pudarnya Kearifan Lokal Salah Siapa?

Prof Harun menegaskan, pudarnya beberapa budaya lokal di Aceh disebabkan karena kesalahan semua, terutama bagi kaum yang tua.

Namun, yang paling bersalah menurutnya ialah para pengambil kebijakan dan orang-orang yang seharusnya membina adat atau pihak konservasi kebudayaan lokal.

"Kalau ditanya salah siapa, jawabannya salah kita semua. Tapi ada yang paling bersalah yaitu orang-orang yang seharusnya membina adat. Karena orang ini adalah pemegang amanah pelestarian dan pengembangan adat di Aceh," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda