DIALEKSIS.COM | Takengon - Wacana pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) kembali bergema setelah sekian tahun tenggelam dalam debu politik dan administrasi. Setidaknya ide pembentukan ALA telah lahir sejak 10 Oktober 1945 di Takengon sejak awal kemerdekaan.
Gerakan yang diusung Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) ini kini menuai beragam respons, mulai dari antusiasme masyarakat hingga narasi keraguan. Di tengah gelombang dukungan, suara hati-hati dari para ahli mengingatkan: pemekaran bukan sekadar soal gejolak politik, tetapi juga kalkulasi matang antara peluang dan risiko.
Merespon fenomena itu, Sutrisno, M.A., akademisi IAIN Takengon yang juga pengamat politik, mengungkapkan bahwa gagasan Provinsi ALA sejatinya telah mengudara sejak 2006-2008. Namun, kala itu, pemerintah pusat memilih fokus pada rekonstruksi Aceh pascakonflik dan tsunami.
"Pemekaran sempat tertunda karena prioritas nasional adalah membangun kembali Aceh yang porak-poranda," jelas Sutrisno kepada Dialeksis.com, Rabu (9/4/2025).
Kemudian dengan adanya tanda tangan Ketua DPR RI H.R Agung Laksono tentang 17 Paket Rancangan Undang Undang (RUU) pembentukan Kabupaten/Kota/Provinsi termasuk Pembentukan Provinsi ALA yang diserahkan kepada Presiden pada tahun 2008.
Angin segar muncul ketika Wamendagri membuka pintu evaluasi Daerah Otonomi Baru (DOB). Kabar ini langsung memicu optimisme di wilayah tengah Aceh khususnya Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues yang selama ini mendambakan terwujudnya Provinsi ALA. Bagi mereka, ALA bukan sekadar mimpi administratif, melainkan janji pemerataan pembangunan dan pengakuan identitas budaya.
Sutrisno memaparkan, pemekaran ALA ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, pembentukan provinsi baru bisa memangkas birokrasi yang berbelit, mempercepat layanan publik, dan mendongkrak pembangunan infrastruktur.
"Dengan kantor pemerintahan baru, akan tercipta lapangan kerja, perputaran ekonomi, serta penguatan sektor kesehatan, pendidikan, dan pelestarian kearifan lokal," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan, "Jangan sampai euforia mengaburkan kalkulasi finansial." Biaya pemekaran mulai dari pembangunan kantor, rekrutmen pegawai, hingga penyediaan layanan dasar bisa membebani APBN di tengah agenda efisiensi pemerintah. Tak hanya itu, ancaman perpecahan sosial mengintai."
"Sentimen kedaerahan bisa melemahkan semangat kolektivitas, apalagi dalam penegakan syariat Islam yang selama ini menjadi fondasi Aceh," tambahnya.
Sutrisno juga menyoroti potensi lahirnya elite-elite baru yang mungkin memanfaatkan momen pemekaran untuk kepentingan pragmatis.
"Jika tidak dikawal transparansi, pemekaran bisa jadi ajang bagi segelintir orang untuk memperkuat kekuasaan ataupun menguasai sumber daya," tegasnya.
Oleh karena itu, KP3ALA dinilainya harus bertindak sebagai mercusuar yang memberi pencerahan kepada masyarakat. "Mereka wajib mengedukasi publik tentang segala konsekuensi mulai dari terwujudnya harapan bersama hingga potensi hubungan dengan pemerintah Aceh," paparnya.
Pemerintah pusat diharapkan tak gegabah. Kajian mendalam harus menjadi pijakan utama, mencakup kesiapan fiskal, kapasitas sumber daya manusia, hingga peta jalan dampak yg timbul setelahnya.
"Pemekaran harus lahir dari kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar ambisi politik sesaat," tandas Sutrisno.
Di ujung wawancara, ia berpesan: "ALA bisa menjadi mercusuar kemajuan jika direncanakan dengan semangat membangun daerah bersama untuk masa depan anak cucu kita kelak."[arn]