DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peredaran uang palsu kembali marak di Aceh dan menimbulkan keresahan masyarakat. Fenomena ini mencuat setelah sebuah unggahan akun TikTok sarjanafriedchicken viral dan ramai diperbincangkan warganet.
Dalam video berdurasi singkat itu, ia memperingatkan warga agar lebih berhati-hati dalam menerima uang kertas, terutama pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu.
“Ini rakan-rakan. Harus hati-hati sekali. Kalau kita lihat sekilas memang tidak beda, tapi yang ini asli dan satu lagi palsu. Tanda-tandanya, kalau yang asli di logo itu berkilat, sedangkan yang palsu tidak. Begitu juga pita uang, yang asli melekat, tapi di uang palsu tidak melekat,” ujar pemilik akun dalam video yang dikutip Dialeksis.com, Sabtu (6/9/2025).
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak, termasuk kalangan akademisi. Dr. Nasrul Zaman, ST., M.Kes., Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh sekaligus pengamat kebijakan publik dan politik Aceh, menilai peredaran uang palsu tidak boleh dianggap remeh.
“Kalau dibiarkan, maka pedagang kecil kios dan eceran yang paling dirugikan karena mereka tidak menggunakan mekanisme perbankan dalam transaksinya,” ujar Nasrul Zaman kepada Dialeksis.com, Sabtu (6/9/2025).
Ia menjelaskan, masyarakat kelas bawah yang sehari-hari mencari nafkah dari transaksi tunai berisiko besar kehilangan pendapatan karena menerima uang palsu.
“Hal ini harus segera dihentikan karena sangat disayangkan para pedagang kecil yang mencari Rp10 ribu sampai Rp20 ribu untuk kehidupan keluarganya, malah harus rugi karena uang palsu,” tegasnya.
Menurut Nasrul, dampak peredaran uang palsu tidak hanya sebatas kerugian finansial individu, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap sistem transaksi tunai.
“Dari perspektif ekonomi, ancamannya serius. Stabilitas transaksi dan kepercayaan masyarakat bisa terganggu. Kalau masyarakat tidak percaya lagi pada uang yang beredar, maka aktivitas ekonomi harian, khususnya sektor informal, akan terguncang,” jelasnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum untuk lebih proaktif dalam membongkar jaringan pengedar uang palsu di Aceh.
“Peredaran uang palsu harus diputus dari hulunya. Jangan hanya menyasar masyarakat kecil yang menjadi korban, tapi juga kejar aktor-aktor di balik peredaran ini,” katanya.
Nasrul juga menekankan pentingnya edukasi publik, agar masyarakat mampu mengenali ciri-ciri uang asli dan palsu dengan lebih mudah.
“Bank Indonesia bersama aparat harus aktif turun ke pasar, warung kopi, bahkan sekolah, memberikan edukasi soal keaslian uang. Ini langkah preventif agar masyarakat tidak terus-menerus menjadi korban,” tambahnya.
Kasus peredaran uang palsu memang bukan hal baru di Aceh. Beberapa tahun terakhir, kepolisian telah beberapa kali mengungkap jaringan pengedar di berbagai kabupaten/kota. Namun, banyak warganet menilai penindakan masih kurang tegas dan lambat.
“Kalau dibiarkan, masyarakat akan terus resah. Dan yang paling menderita tetap pedagang kecil, bukan pelaku besar,” tutup Dr. Nasrul Zaman. [nh]