Kamis, 02 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Aktivis Desak Bupati Aceh Utara Tegas Selesaikan Konflik Agraria Cot Girek

Aktivis Desak Bupati Aceh Utara Tegas Selesaikan Konflik Agraria Cot Girek

Kamis, 02 Oktober 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Aktivis demokrasi Aceh, Sofyan. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Lhoksukon - Konflik agraria di Cot Girek, Aceh Utara, kembali menyerot persoalan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sawit di kawasan itu bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan telah menjadi luka sosial yang terus dibiarkan terbuka.

Masyarakat yang tinggal di sekitar area perkebunan menilai keberadaan perusahaan justru merampas ruang hidup mereka. Sementara itu, perusahaan kerap berlindung di balik dokumen HGU yang dinilai sarat polemik. Situasi ini menimbulkan keresahan yang semakin menguat di tengah masyarakat.

Aktivis demokrasi Aceh, Sofyan, mengatakan bahwa pemerintah daerah, khususnya Bupati Aceh Utara Ismail A Jalil atau yang akrab disapa Ayah Wa, tidak bisa lagi bersikap ambigu menghadapi konflik tersebut.

“Rakyat menunggu sikap tegas, bukan sekadar pernyataan normatif. Sebagai kepala daerah, Bupati punya legitimasi moral dan politik untuk memastikan tanah Aceh Utara tidak hanya menjadi monopoli korporasi, tetapi benar-benar menjadi sumber kehidupan bagi rakyatnya,” ujar Sofyan kepada media dialeksis.com, Kamis (2/10/2025).

Sofyan menegaskan bahwa masyarakat Aceh Utara tidak menolak investasi. Namun, ia mengingatkan bahwa investasi harus membawa manfaat, bukan menciptakan ketidakadilan dan konflik horizontal.

“Kita tentu tidak menolak investasi. Tetapi ketika investasi justru melahirkan ketidakadilan, mengancam stabilitas sosial, maka keberpihakan pemerintah daerah harus jelas: berpihak kepada rakyat,” katanya.

Menurutnya, Cot Girek bukan sekadar sengketa tanah, tetapi simbol carut-marut tata kelola agraria di Aceh. Ia menilai, jika Bupati tidak segera mengambil langkah konkret, sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang membiarkan rakyatnya terus berhadapan dengan perusahaan dan aparat keamanan tanpa adanya mediator yang adil.

Cot Girek memiliki catatan kelam di masa konflik bersenjata Aceh. Sofyan mengingatkan bahwa di wilayah tersebut, rakyat pernah menanggung penderitaan besar, kehilangan nyawa, dan menelan trauma mendalam yang belum sepenuhnya terobati.

“Terlalu banyak nyawa melayang di masa lalu tanpa pernah ada pengadilan yang menenangkan hati rakyat. Jangan biarkan sejarah kelam itu berulang hanya karena kita lalai menuntaskan persoalan tanah,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan, sejarah dunia menunjukkan gejolak besar sering berawal dari keresahan petani dan persoalan tanah.

“Revolusi lahir dari desa-desa yang marah, dari rasa keadilan yang dikhianati. Jangan sampai Cot Girek menjadi pemantik api baru di Aceh,” imbuh Sofyan.

Selain menyoroti peran Bupati, Sofyan juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), khususnya legislator dari daerah pemilihan V (Aceh Utara-Lhokseumawe), untuk turun tangan.

“Jangan tunggu sampai konflik pecah atau korban berjatuhan baru bersuara. Kehadiran legislatif sangat penting agar persoalan HGU ini tidak berlarut-larut,” tegasnya.

Meski konflik agraria Cot Girek sudah berlangsung sejak lama, Sofyan menilai tanggung jawab penuh kini ada di tangan kepala daerah.

“Memang bukan lahir di masa Ayah Wa, tapi mandat itu sudah melekat pada beliau. Hanya dengan keberanian politik Ayah Wa, jalan penyelesaian bisa ditemukan. Sejarah sedang menguji, apakah Ayah Wa akan dikenang sebagai pemimpin yang menegakkan keadilan atau sekadar membiarkan rakyatnya kembali menjadi korban. Pepatah Aceh mengingatkan, ‘Ureueng tuha keu ureung muda, ureung muda keu gampong, gampong keu nanggroe.’ Pemimpin ada untuk rakyatnya, dan rakyat ada untuk tanah yang mereka perjuangkan,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid