DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat memenuhi halaman Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Namun, di tengah orasi-orasi keras mahasiswa, suara seorang perempuan muda justru menjadi sorotan dan meninggalkan kesan mendalam.
Ia adalah Sri Wahyuni, seorang anak korban konflik Aceh yang kini hidup tanpa keluarga. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan kisah hidupnya yang penuh luka di hadapan Ketua DPRA Zulfadhli dan para anggota dewan lain yang hadir menemui pengunjuk rasa.
“Adik saya hilang tanpa kabar, ayah saya pun tak pernah kembali. Hingga hari ini saya tidak tahu di mana jasadnya. Saya benar-benar hidup sebatang kara, Pak,” ucap Sri di tengah ribuan massa yang seketika hening mendengarkan kesaksiannya.
Sri Wahyuni mengaku dirinya adalah anak dari seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat konflik berkecamuk, ia terpaksa berhenti sekolah karena harus ikut ayahnya berjuang di hutan. Masa remajanya terenggut oleh perang yang tak berkesudahan kala itu.
“Saya ini anak GAM yang ikut merasakan getirnya masa konflik. Saya putus sekolah bukan karena mau, tapi karena harus ikut berjuang bersama ayah saya. Hari ini, saya minta para pemimpin jangan hanya sibuk tampil dengan pakaian mewah, sementara rakyat kecil seperti kami masih menanggung derita,” katanya lantang.
Pernyataan Sri disambut teriakan solidaritas dari mahasiswa yang ikut aksi. Beberapa terlihat terharu, sebagian lain mengangkat tangan sebagai tanda dukungan.
Dalam orasinya, Sri Wahyuni menegaskan bahwa hingga kini masih banyak anak-anak korban konflik yang terabaikan dan tidak mendapat perhatian layak dari pemerintah. Mereka yang kehilangan orang tua dan sanak keluarga masih berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
“Mungkin bapak-ibu dewan tidak tahu bagaimana rasanya hidup di masa itu. Di sini hadir anak-anak korban konflik yang masih terluka. Saya sendiri pernah dibawa masuk ke hutan, merasakan sakitnya, takutnya, hingga trauma yang sampai sekarang masih membekas. Tolong, pikirkan nasib kami,” ucapnya.
Kesaksian Sri membuat suasana aksi berubah emosional. Sorak-sorai massa yang sejak pagi memenuhi halaman DPRA mendadak terdiam, memberi ruang bagi suara seorang anak korban konflik yang telah lama terpendam.
Sri Wahyuni berharap agar wakil rakyat tidak melupakan mereka yang menjadi korban konflik masa lalu. “Kami ini bagian dari sejarah Aceh. Jangan hanya ingat perjuangan di atas kertas, tapi lupakan anak-anak yang menjadi korban nyata. Kami menunggu keadilan, kami menunggu perhatian,” tutupnya.