DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua dekade sudah berlalu sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005.
Momentum bersejarah yang mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun itu kini memasuki usia 20 tahun, sebuah capaian yang jarang terjadi dalam sejarah perdamaian dunia.
Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Dr. Reza Idria, yang juga antropolog dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengajak semua pihak untuk tidak sekadar merayakan, tetapi juga merefleksikan perjalanan panjang tersebut.
“Kita wajib bersyukur bahwa usia perjanjian damai Helsinki sudah mencapai 20 tahun. Ini perjalanan yang sangat panjang dan tidak gampang. Kalau kita berkaca pada perjanjian damai di negara lain, jarang sekali yang mampu bertahan selama ini,” ujar Reza kepada media dialeksis.com, Kamis (14/8/2025) di Banda Aceh.
Menurutnya, banyak negara kini mencoba mempelajari road to peace yang ditempuh Aceh, bagaimana proses menuju damai dijalani dan bagaimana suasana damai itu dijaga selama dua dekade.
Namun, di balik rasa syukur, Reza menilai perlunya evaluasi mendalam. Tantangan nyata masih menghantui, terutama ketika berbicara tentang kesejahteraan rakyat.
“Tanpa damai, tidak mungkin ada pemulihan. Tapi kita juga harus jujur, setelah 20 tahun, Aceh masih menempati posisi termiskin di Indonesia. Potensi keistimewaan daerah ini pun belum optimal dimanfaatkan,” ujarnya.
Reza menyoroti minimnya pemahaman publik terhadap status kekhususan dan keistimewaan Aceh. Menurutnya, pengetahuan tentang keistimewaan ini masih bersifat eksklusif di kalangan ahli hukum atau birokrat.
“Kalau saya tanya ke mahasiswa atau anak muda tentang apa saja keistimewaan Aceh, kebanyakan harus buka referensi dulu. Artinya, kita hanya menguasai kata istimewa, tapi tidak tahu substansinya,” ujarnya.
Kurangnya pemahaman ini, lanjut Reza, berimbas pada lemahnya partisipasi publik dalam mengawal kebijakan dan anggaran daerah.
Di usia 20 tahun perdamaian, Reza menilai pemerintah seharusnya sudah mampu keluar dari garis bawah dalam berbagai indikator kesejahteraan. Ia melihat masalah akuntabilitas, transparansi, dan prioritas anggaran.
“Uang ada setiap tahun, tapi kalau angka kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan tidak membaik, berarti ada masalah di tata kelola. Publik jarang mengawal dana itu. Kita baru ribut kalau tidak kecipratan proyek, bukan soal bagaimana uang publik digunakan,” tegasnya.
Ia membandingkan dengan negara-negara lain di mana penggunaan dana publik diawasi ketat oleh warga. “Di Amerika, presiden main golf pakai uang negara saja bisa jadi perdebatan nasional. Di sini, diajak ngopi sama pejabat pun kita lupa itu dibayar dari dana publik,” sindirnya.
Reza mengingatkan bahwa perdamaian dibangun di atas rasa percaya (trust) yang sifatnya rapuh. Ia menganalogikan hubungan ini seperti relasi suami-istri atau pasangan, yang bisa retak jika faktor ekonomi terganggu.
“Damai saja tidak cukup. Harus ada kesejahteraan. Masalah ekonomi bisa memicu retaknya rasa percaya. Ini sangat manusiawi,” jelasnya.
Reza juga mengingatkan ancaman serius ketika dana otonomi khusus (otsus) Aceh berakhir. Tanpa strategi keluar (exit strategy) yang jelas, ketiadaan sumber dana besar ini bisa menimbulkan masalah baru dan berpotensi mengancam stabilitas perdamaian.
“Kalau dari sekarang kita tidak menyiapkan langkah, dalam waktu singkat kita bisa menghadapi krisis. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah dan semua pihak,” ujarnya.
Bagi generasi muda Aceh yang tidak mengalami langsung masa konflik, Reza menilai pemahaman tentang nilai perdamaian harus diperkuat lewat pendidikan formal. Ia mendorong adanya kurikulum khusus tentang perdamaian di sekolah dan kampus.
“Sudah lebih 10 tahun dibicarakan, tapi sampai sekarang belum ada kurikulum perdamaian yang resmi. Harus ada dorongan dari generasi muda untuk menuntut ini,” katanya.
Menurut Reza, partisipasi publik, terutama anak muda penting agar perdamaian tidak hanya menjadi memori para penandatangan MoU Helsinki, tetapi juga menjadi nilai hidup generasi mendatang.
“Jangan sampai damai ini hanya jadi cerita orang tua. Generasi muda harus ikut berbicara, menentukan arah, dan merawatnya,” tutup Reza.[nh]