Sabtu, 14 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / ASYM Desak Presiden Batalkan SK 4 Pulau, Jangan Rusak Perdamaian Aceh

ASYM Desak Presiden Batalkan SK 4 Pulau, Jangan Rusak Perdamaian Aceh

Jum`at, 13 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

M. Fawazul Alwi, atau yang akrab disapa Tgk. Awie, Founder Aceh Sumatra Youth Movement (kiri) dan M. Khaidir, atau dikenal sebagai Tgk. Jundullah, selaku Co-founder ASYM (kanan). [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh Sumatra Youth Movement (ASYM), sebuah gerakan pemuda independen yang aktif dalam isu sosial-politik di Aceh, menyikapi keputusan pemerintah pusat terkait penetapan empat pulau di wilayah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.

Keputusan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut dianggap sebagai upaya sistematis untuk menggerogoti kedaulatan wilayah Aceh dan merusak semangat perdamaian yang telah terjalin selama dua dekade pasca MoU Helsinki 2005.

“Kami sangat menyayangkan sikap dan keputusan Mendagri yang seakan-akan ingin merusak dan adu domba masyarakat Aceh dan Sumut. Jangan rusak 20 tahun perdamaian Aceh dengan cara ambisi-ambisi dan operasi intelijen untuk merusak Aceh dari dalam dan luar,” tegas M Fawazul Alwi, atau yang akrab disapa Tgk. Awie, Founder Aceh Sumatra Youth Movement, kepada media dialeksis.com, Jumat (13/6/2025).

Menurut Tgk. Awie, persoalan ini bukan hanya tentang batas wilayah, tetapi menyangkut marwah dan sejarah panjang perjuangan Aceh yang telah memilih jalur damai melalui perjanjian Helsinki.

Ia menegaskan, secara hukum dan historis, keempat pulau yang kini jadi polemik telah diatur secara tegas dalam Butir 1.1.4 MoU Helsinki yang menyatakan:

Wilayah Aceh mencakup wilayah yang saat ini merupakan Provinsi Aceh. Batas-batasnya adalah seperti yang berlaku pada 1 Juli 1956.

“Empat pulau ini sudah jelas masuk dalam wilayah Aceh berdasarkan batas administratif 1 Juli 1956. Ini bukan soal tafsir politik, tapi soal kesepakatan damai yang sudah disahkan di level nasional dan internasional. Jangan hanya karena ada potensi migas, lantas wilayah Aceh mau dicaplok begitu saja. Kalau memang punya niat baik, kelola saja bersama, tapi jangan langgar sejarah dan hukum,” tegas Tgk. Awie.

Lebih lanjut, ia menyampaikan kekecewaannya terhadap gagasan pemerintah pusat yang mengusulkan agar pulau tersebut dikelola bersama dengan skema pembagian hasil 70-30.

"Pulom nyo ipeugah yu kelola bersama, hoe ulee pikiran tanyo? Bek peugah kelola bersama 2 provinsi, meu 70-30 manteng hana sesuai. Ini bukan sekadar angka, ini menyangkut kedaulatan. Jangan perlakukan Aceh seolah-olah tak punya harga diri,” imbuhnya.

Sementara itu, M. Khaidir, atau dikenal sebagai Tgk. Jundullah, selaku Co-founder ASYM, mengingatkan pemerintah bahwa konflik semacam ini pernah terjadi dalam sejarah Aceh.

Ia merujuk pada penghapusan Provinsi Aceh pada tahun 1950, yang menjadi pemicu utama lahirnya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Tgk. Daud Beureueh.

“Kita tentu gak lupa, apa yang terjadi hari ini pernah terjadi dulu. Ketika Aceh sudah sepakat bergabung ke Republik pada 1948, tiba-tiba pada 1950 Aceh dihapus dari peta dan digabungkan ke Sumatera Utara. Akibatnya muncul perlawanan bersenjata. Sekarang, kalau Aceh kembali dikhianati, bukan tidak mungkin akan muncul gerakan serupa,” kata Tgk. Jundullah.

Ia memperingatkan bahwa generasi muda Aceh saat ini punya kesadaran sejarah yang kuat, dan tidak akan tinggal diam bila wilayah dan harga diri Aceh diinjak-injak.

“Tentu kita semua ingin Indonesia ini damai, tapi jangan selalu Aceh yang ditipu. Kami sudah muak. Kalau pemerintah pusat terus main-main soal wilayah, jangan salahkan kalau muncul DI/TII atau GAM jilid 2 di Aceh,” tukasnya.

ASYM mendesak Presiden Republik Indonesia dan Menteri Dalam Negeri untuk segera mencabut dan membatalkan SK tentang penetapan 4 pulau tersebut.

“Kami selaku petinggi mewakili segenap tim Aceh Sumatra Youth Movement, menuntut kepada Pak Presiden & Mendagri untuk segera batalkan SK tentang 4 Pulau. Kalau presiden dan Mendagri tidak membatalkan SK tentang pulau itu...mungkin akan muncul gerakan DI-TII jilid 2...Yang tentu saja sama-sama tidak Kita inginkan," ujarnya

Ia mengatakan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan yang terus terjadi tidak akan membawa Indonesia menjadi negara maju.

“Negeri ini tidak akan maju, tidak akan pernah makmur, tidak akan pernah menjadi negara dengan SDM tinggi sekelas Belanda, Luxemburg, Polandia, Jepang, atau China, jika di kantor masih banyak orang tidak kompeten, Negeri ini akan bangkit jika keadilan ditegakkan dari pusat hingga ke pelosok, termasuk Aceh," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI