Ayu Marzuki: Semua Punya Peran Dalam Mencegah dan Melindungi Anak dari Kekerasan
Font: Ukuran: - +
Penjabat Ketua TP-PKK Aceh, Ayu Marzuki, saat menjadi keynote speaker dalam acara Sustainable Advocacy Training “Sexual Violence Treatment” yang diselenggarakan oleh KOHATI BADKO HMI Aceh, di BKPSDM Pidie, Sabtu (28/1/2023).
DIALEKSIS.COM | Pidie - Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Ayu Marzuki mengungkapkan upaya pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan fisik, psikis dan seksual terhadap anak harus melibatkan seluruh pihak, mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, ormas, hingga pemerintah.
Sebab, kekerasan seksual pada anak merupakan salah satu masalah serius dan digolongkan sebagai bencana sosial.
Hal itu disampaikan Istri dari Pj Gubernur Aceh itu dalam acara Sustainable Advocacy Training “Sexual Violence Treatment” yang diinisiasikan oleh KOHATI BADKO HMI Aceh, di BKPSDM Pidie, Sabtu (28/1/2023).
“Karena itu, kami mengimbau kepada keluarga dan masyarakat, jika mengetahui kasus kekerasan seksual terhadap anak maupun perempuan segera melaporkannya.
Hal ini penting dilakukan karena korban perlu segera mendapatkan penanganan guna mengatasi trauma. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan rasa aman, dan tidak membiarkan korban menyalahkan diri sendiri atas kejadian tersebut,” kata Ayu.
Selain itu Ayu menambahkan, juga dibutuhkan sebuah strategi efektif yang mampu mencegah dan menangani tindak kekerasan agar tidak melahirkan pelaku dan korban baru selanjutnya, dan itu perlu dukungan semua pihak agar dapat terwujud, khususnya dari kalangan muda yang melek terhadap gadget.
Pada kesempatan itu, Ayu menyebutkan, berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus bertambah setiap tahunnya.
Terbukti kasus KDRT, pada tahun 2020 terlapor sebanyak 420 kasus, lalu tahun 2021 sebanyak 456 kasus, dan tahun 2023 sebanyak 458 kasus. Begitu juga dengan kasus kekerasan terhadap anak, pada tahun 2020 sebanyak 485 kasus, tahun 2021 sebanyak 468 kasus, dan tahun 2022 meningkat drastis sebanyak 571 kasus.
“Tetapi, secara akumulasi bentuk kekerasan terhadap perempuan, jumlahnya sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2020 total ada 791 kasus, lalu 2021 sebanyak 836 kasus,” ungkapnya.
Ia menerangkan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih mendominasi kasus kekerasan yang menimpa terhadap perempuan Aceh, namun, tidak bisa dipungkiri bentuk kekerasan lain yang dialami perempuan juga tidak kalah banyak, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain- lain.
Sementara kasus kekerasan terhadap anak di Aceh, pelecehan seksual dan kekerasan psikis lebih mendominasi ketimbang yang lain seperti kekerasan fisik, penelantaran, KDRT, pemerkosaan, dan-lain-lain. Maka bila diakumulasikan, pada tahun 2020 ada 671 kasus yang terjadi, lalu 2021 meningkat menjadi 816 kasus, dan tahun 2022 menurun sedikit menjadi 773 kasus.
Ia menambahkan, jumlah kasus tersebut tentu bisa bertambah karena banyak kasus yang tidak atau belum dilaporkan oleh korban maupun keluarga korban, baik karena ancaman dari pelaku, maupun dari korban itu sendiri. “Banyak korban takut melapor kepada orang tua atau keluarga. Selain itu, ada stigma yang menganggap bahwa kekerasan seksual merupakan aib sehingga keluarga korban takut melaporkannya,” terangnya.
Beranjak dari permasalahan itu, Tim Penggerak PKK sebagai mitra pemerintah dalam strategi program 2020-2024 telah melahirkan PAAREDI atau Pola Asuh Anak dan Remaja di Era Digital. PAAREDI berorientasi pada pentingnya menanamkan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan filosofi kehidupan, dan komunikasi yang positif antar anggota keluarga.
Salah satu strategi PAAREDI adalah memberikan pemahaman menjadi Keluarga Indonesia Lindungi Anak Dari Kekerasan Seksual atau KILAS, di mana yang ditekankan adalah pemberian edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan. Salah satunya, pentingnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam penggunaan gadget dan media sosial, agar terhindar dari pornografi.
“Kita tahu, pornografi bersifat adiktif dan menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan seksual. Mudah-mudahan strategi ini mampu mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak, tentunya dengan kerjasama lintas sektor yang melibatkan semua pihak,” ungkapnya.
Selain itu, ada pula Puspaga layanan untuk meningkatkan kehidupan keluarga dan ketahanan keluarga melalui program Pendidikan pengasuhan, keterampilan menjadi orang tua, keterampilan melindungi anak, kemampuan meningkatkan partisipasi anak dalam keluarga maupun penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga.
“Puspaga ini memberikan layanan konseling untuk menyiapkan orang tua dalam melakukan pola asuh, meningkatkan partisipasi dalam keluarga untuk mewujudkan keluarga yang ideal,” pungkasnya.