kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Balai Syura Ureung Inong Aceh Menolak Keras Pemusnahan Total Rumoh Geudong

Balai Syura Ureung Inong Aceh Menolak Keras Pemusnahan Total Rumoh Geudong

Minggu, 25 Juni 2023 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Sisa Rumoh Geudong yang diratakan. [Foto: Zulkarnaini/Harian Kompas]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) menolak keras pemusnahan total Rumoh Geudong, salah satu lokasi pelanggaran HAM berat di Aceh.

Ketua Presidium BSUIA Khairani Arifin mengatakan, secara prinsip, Instruksi Presiden No 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Judisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu, berpotensi memberikan impunitas kepada pihak manapun (dari kedua belah pihak) pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, baik yang terjadi di Aceh maupun di tempat lain di Indonesia.

“Kenyataannya bahwa proses pengungkapan kebenaran yang telah mulai dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh secara dapat dipertanggungjawabkan sudah dengan jelas mengungkapkan bahwa ada peristiwa pelanggaran HAM di Aceh dan ada korbannya,” kata Khairani kepada Dialeksis.com, Minggu (25/6/2023).

Lanjutnya, sedangkan pengungkapan kebenaran secara khusus tentang siapa saja pelaku pelanggaran HAM tersebut dari kedua belah pihak, secara khusus belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Hal ini, menurutnya merupakan bagian penting yang harus terpenuhi dalam rangka memberi keadilan kepada korban, termasuk yang melalui pendekatan non-yudisial.

Sejauh ini, kata Khairani, masih ada secercah harapan dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah telah dan akan terus melakukan berbagai upaya untuk tujuan merawat damai, khususnya Aceh yang antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia telah sama-sama menandatangani perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

“Namun, pengejawantahan Keppres tersebut dengan kegiatan “Pembukaan Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM berat secara Non-Judisial” yang dahului dengan “Pemusnahan Rumoh Geudong” memunculkan banyak pertanyaan dan semakin mengecilkan harapan dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah punya niat dan cara yang baik untuk merealisasikan pendekatan pemenuhan keadilan, khususnya secara Non-Judisial,” jelasnya.

Di sisi lain, menurutnya, pernyataan PJ Bupati Pidie Bapak IR Wahyudi Adisiswanto, M.Si sebagai pemerintah daerah di mana Rumoh Geudong berdiri, semakin memicu kekecewaan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, BSUIA menyatakan pendekatan penyelesaian pelanggaran HAM secara non-yudisial tidak menegasi penyelesaian secara penuntutan-proses hukum (Pro “ justicia), termasuk dengan mempertimbangkan hasil kerja Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran di Aceh (bukan hanya Rumoh Geudong).

Khairani menjelaskan, memorialisasi Rumoh Geudong merupakan bagian tak terpisahkan dari rekomendasi reparasi yang secara langsung muncul dari para korban yang telah diambil pernyataannya oleh KKR Aceh yang tentu tidak bisa diabaikan dan pemerintah wajib memenuhinya sebagai bagian dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM secara Non-Judisial.

“Pembangunan memorialisasi itu sendiri harus menyisakan sebanyak mungkin ciri-ciri asli dari tempat kejadian perkara pelanggaran HAM tersebut. Untuk menghormati korban, baik yang telah gugur maupun yang masih hidup dari peristiwa Rumoh Geudong sehingga bisa menjadi situs memorialisasi yang merupakan bagian dari bentuk reparasi untuk merawat perdamaian dan bentuk pemulihan terhadap korban,” tegasnya.

Balai Syura Ureung Inong Aceh menyatakan keberatan terhadap pernyataan PJ Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto yang menyebutkan bahwa membangun museum dan replika Rumoh Geudong itu sama saja mewarisi dendam karena pemusnahannya juga tidak menjamin menghilangkan dendam atau bahkan akan menghilangkan trauma secara serta merta.

“Pernyataan dari PJ Bupati Pidie terkesan mengabaikan berbagai bentuk upaya merawat damai yang dilakukan oleh semua pihak, termasuk pemerintah. Selain itu, pernyataan demikian kontra produktif dengan berbagai upaya pemulihan korban, bahkan semakin melukai korban konflik yang mengalami berbagai kekerasan di Rumoh Geudong khususnya, maupun korban konflik bersenjata Aceh umumnya,” ungkapnya.

Bagi Khairani, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara Non-Judisial salah satunya dengan memorialisasi tidak cukup dilakukan hanya sebatas ceremonial tetapi harus menjawab kewajiban pemerintah (fungsi to full fill)dalam pemenuhan hak-hak korban. [nor]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda