Selasa, 10 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Bergeser Koordinat di Darat, Kelompok Tani di Lae Balno Tak Bisa Akses PSR

Bergeser Koordinat di Darat, Kelompok Tani di Lae Balno Tak Bisa Akses PSR

Senin, 09 Juni 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Fadhli Ali Wakil Ketua Presidium Persaudaraan Barat - Selatan Aceh (PBSA) dan Wasekjen Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Hukum dan Advokasi DPP Apkasindo. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Desa Lae Balno di Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil, kini sebagian wilayahnya diklaim masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hampir setengah luas desa itu tercatat berpindah administrasi, termasuk lahan pertanian, kawasan hutan, pintu gerbang perbatasan, bahkan kantor desa setempat.

Akibat perubahan koordinat batas darat tersebut, warga petani sawit di Lae Balno tidak lagi dapat mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bagi petani Aceh. Kondisi ini sudah dilaporkan warga dan tokoh desa (Imum Mukim, keuchik, dan lainnya) hingga ke Wali Nanggroe Aceh, namun hingga kini belum ada penyelesaian jelas.

Batas darat Aceh - Sumut semula berada di kawasan yang disebut Uruk Aceh di hulu Sungai Saragih. “Uruk Aceh… berarti Bukit Aceh,” kata Imum Mukim Danau Paris Zainal Abidin Tumangger, menegaskan bahwa kawasan hulu Sungai Saragih tersebut adalah wilayah Aceh. Zainal menyatakan bahwa lokasi sawah sengketa di Dusun Perti jelas masuk wilayah Aceh.

Namun hasil pengukuran baru menunjukkan titik batas bergeser ke barat menuju Jembatan Seragih, sekitar 1 km dari posisi semula. Pergeseran koordinat ini yang membuat luas wilayah Aceh di Lae Balno “hilang” di peta, sehingga masyarakat setempat khawatir lahan mereka dianggap berada di Sumut.

Perubahan administrasi tersebut langsung berdampak pada petani setempat. Lahan yang dulu tercatat di Aceh kini masuk dalam wilayah Sumut, sehingga para petani sawit Lae Balno tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan PSR Aceh.

Menurut warga, program PSR yang digulirkan oleh pemerintah pusat selama ini dinikmati petani Aceh, namun hal ini terhambat karena status lahan dianggap di luar provinsi. Imum Mukim dan Keuchik desa telah berupaya mengadvokasi nasib kelompok tani ini, tetapi sampai saat ini bantuan teknis seperti PSR belum dapat dicairkan bagi mereka.

Masalah ini sempat menarik perhatian tokoh Aceh hingga ke tingkat lembaga adat. Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud bahkan datang langsung ke Lae Balno pada November 2020 atas undangan Pemkab Aceh Singkil untuk menengahi sengketa tapal batas Aceh - Sumut. Dalam kunjungannya, Malik menegaskan bahwa peta batas peninggalan Belanda masih ada dan berlaku.

Ia berjanji akan mengumpulkan data serta fakta permasalahan batas ini untuk disampaikan kepada Pemerintah Aceh, bahkan jika perlu melakukan audiensi dengan Pemerintah Sumut dan pemerintah pusat. Meski begitu, hingga kini belum ada langkah konkret yang mengubah status wilayah tersebut atau memulihkan hak petani PSR di Lae Balno.

Menanggapi isu ini, Wakil Ketua Presidium Persaudaraan Barat - Selatan Aceh (PBSA) Fadhli Ali menegaskan bahwa persoalan bukanlah perebutan wilayah oleh Sumut, melainkan kesalahan teknis pemetaan. Fadhli mengisahkan bahwa,“salah satu puncak masalah di sini [adalah] pergeseran beberapa derajat dalam peta, yang dibuat oleh Bakorsurtanal sekitar tahun 2017," ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi (9/6/2025).

Pergeseran peta itu, menurutnya, “secara riil bergeser sejauh sekitar 17 Km” ke arah barat. Akibatnya, baik wilayah laut maupun darat Aceh termasuk kepulauan kecil di laut maupun wilayah seperti Lae Balno ikut terpangkas masuk wilayah Sumut.

Fadhli Ali menegaskan bahwa masalah peta ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, agar penetapan batas dikaji ulang dan program pemerintah dapat dinikmati kembali oleh penduduk Aceh.

Langkah strategis perlu dilakukan menurut Fadhli Ali, dimulai dari melakukan koreksi peta nasional oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mengembalikan koordinat Aceh. Selain itu dibutuhkan kebijakan khusus dari Kementerian Pertanian dan BPDP agar petani Lae Balno bisa mengakses PSR tanpa terhambat status wilayah.

“Terpenting juga dilakukan uudit batas lintas provinsi melibatkan BPN, Kemendagri, dan pemerintah daerah. Jika pergeseran koordinat dibiarkan, bukan hanya Lae Balno yang terancam. Ini preseden buruk bagi kedaulatan wilayah Aceh!”,” pungkas Wasekjen Bidang Organisasi dan Keanggotaan, Hukum dan Advokasi DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI