kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / BPDASHL Aceh Sebut Titik Kerusakan Hutan Tertinggi di Aceh Tengah dan Gayo Lues

BPDASHL Aceh Sebut Titik Kerusakan Hutan Tertinggi di Aceh Tengah dan Gayo Lues

Selasa, 22 Maret 2022 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Diskusi Evening Talk seri ke-2 yang digelar oleh FJL dan AGC dengan mengangkat tema “Deforestasi Hutan Aceh. Kita Bisa Apa?". Senin (21/3/2022). [Foto: Dialeksis/ftr]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Staf Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Aceh, Ridwan Iriadi mengatakan bahwa butuh waktu lebih kurang 251 Tahun untuk memperbaiki hutan Aceh.

Hal itu disebutkan dalam diskusi Evening Talk seri ke-2 yang digelar oleh FJL dan AGC dengan mengangkat tema “Deforestasi Hutan Aceh. Kita Bisa Apa?".

“Sedikitnya ada 251 ribu hektare hutan di aceh dalam kondisi yang memprihatinkan atau kritis. Kalau dalam 1 tahun hanya mampu direhab sekitar 1.000 Hektare, maka lebih kurang 251 tahun untuk memulihkan semua,” ujarnya dalam forum itu, Senin (21/3/2022).

Selama ini, kata Ridwan, BPDASHL Aceh hanya mampu merehab lebih kurang 1.000 hektare dalam kurun waktu setahun. Namun disisi lain titik kerusakan di lokasi lainnya terus terjadi.

Oleh karena itu, kata Dia, perlu kesadaran yang tinggi terhadap hal ini, dan juga penting sekali kolaborasi semua pihak agar pemulihan ini bisa lebih cepat.

“Masyarakat harus diberi pengetahuan terhadap fungsi dan wilayah hutan itu sendiri. Dengan begitu kesadaran dan pengetahuan itu diharapkan bisa mengurangi terjadinya illegal logging atau perusakan hutan dalam bentuk lainnya,” ungkapnya.

Lanjutnya, dirinya mengungkapkan, bahwa titik-titik kerusakan tersebar paling parah terjadi di kawasan Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah dan Gayo Lues.

Disisi lainnya juga, BPDASHL Aceh, kata Ridwan, anggaran yang tersedia juga sangat terbatas. Sehingga, upaya-upaya yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat untuk membujuk atau mensosialisasikan pengetahuan dan kesadaran itu sendiri.

“Selama ini BPDASHL Aceh sendiri mencoba mensosialisasikan kepada masyarakat untuk dalam bercocok tanam, misalkan dengan memadukan tanaman berkayu yang menghasilkan buah dengan tanaman yang biasa ditanam masyarakat di lahan kebun mereka atau sejenisnya, sehingga terdapat simbiosis mutualisme yang terjadi, sama-sama menguntungkan,” jelasnya.

“Masyarakat secara ekonomi juga dapat untung, karena hasil buah dari tanaman berkayu, dan juga hutan dapat terjaga karena adanya pohon atau tanaman berkayu itu sendiri,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda