BPMA Didesak Lakukan Evaluasi Internal
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh – Pro dan kontra pemakaian ruang rapat milik Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang dipergunakan Ikatan Alumni Teknik Geofisika (IKATG) Unsyiah berkerjasama dengan Ikatan Alumni Teknik Geologi (IAGL) Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menggelar Workshop Geoscience pada Senin (23/12/2019) terus bergulir.
Sejumlah pihak ada yang menilai hal tersebut sah-sah saja, namun ada pula yang mengkritik karena acara yang digelar tersebut mengutip dana dari peserta sehingga bertendensi bisnis.
Bagi Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa) Alfian hal tersebut masih sebatas normal.
Ia lebih menitikberatkan apakah peserta merasa rugi dengan kutipan dana oleh panitia kegiatan.
"Fasilitas ruangan milik BPMA dan itu dengan status tidak disewakan. Sementara pelaksana mengutip biaya untuk kebutuhan acara mereka. Saran saya, bagusnya ada komentar dulu dari para peserta yang sudah mengeluarkan biaya, mereka merasa dirugikan atau tidak? dan itu lebih menarik kalau pandangan saya," ucap Alfian saat diminta tanggapan oleh media ini, Selasa (24/12/2019).
"Apakah yang kutip biaya BPMA atau bukan? Apakah secara prosedural BPMA itu salah?," tambahnya lagi.
Namun, hal berbeda disampaikan oleh mantan Plt Kepala BPMA, Azhari Idris. Seperti yang dikutip dari portal AJNN, Senin (23/12/2019), ia menyebutkan sebagai instansi yang operasionalnya menggunakan anggaran publik, lembaga pemerintah tidak diperkenankan membuat suatu kegiatan lalu melakukan pengutipan sejumlah uang kepada masyarakat. Hal ini disebabkan, karena seluruh fasilitas yang berada di ruangan tersebut, baik itu air conditioner (AC), kursi, meja, sound system dan listriknya disediakan dan dibayar oleh negara.
"Kalau misalnya, pertemuan tersebut berlangsung setengah hari. Saya pikir kantor (BPMA), mampulah memberikan teh dan kopi. Karena memang ada setiap hari disediakan disitu. Nggak boleh lah kutip biaya, itu nggak bener," tukasnya.
Dia juga mengatakan fasilitas publik seperti ruang rapat BPMA itu boleh-boleh saja digunakan oleh masyarakat, selama itu untuk kepentingan umum, permohonan penggunaan dilakukan sesuai prosedur, tidak ada embel-embel politik serta tidak menganggu kegiatan internal BPMA.
"Jika pun digunakan orang diluar BPMA, selama itu untuk kepentingan publik dan diizinkan untuk dipakai. Ya oke saja. Tapi jika menggunakan fasilitas BPMA kemudian kutip duit, itu kan sama saja BPMA berkolaborasi dengan orang luar seolah-olah melakukan bisnis," tutup Azhari.
Sementara itu, peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Nasrul Rizal menilai pasca Teuku Muhammad Faisal dilantik sebagai 'nakhoda' yang baru bagi BPMA, lembaga yang mengawasi persoalan migas di Aceh itu harus segera melakukan langkah evaluasi internal dan penyegaran struktur organisasi sehingga mampu melakukan percepatan kinerja dan bisa menunjukkan performance yang memuaskan terhadap peran dan fungsi yang melekat secara kelembagaan.
Secara khusus dia menyebutkan salah satu bidang yang menurutnya sangat vital dan harus segera dilakukan perombakan struktur.
"Khususnya Kedeputian Dukungan Bisnis perlu dilakukan penyegaran agar lebih dimaksimalkan capaian-capaian yang telah disusun oleh BPMA," ujar Nasrul Rizal, Senin (23/12/2019).
Menurut dia, kesuksesan BPMA sangat tergantung pada bidang bisnis sehingga dibutuhkan SDM yang memiliki background dan keahlian bisnis yang teruji.
"Bidang bisnis merupakan 'jantung' bagi kesuksesan BPMA. Jadi harus orang yang memiliki background dan keahlian bisnis yang teruji plus berpengalaman yang menangani bidang tersebut," tutup peneliti JSI Nasrul Rizal. []