kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Catatan Kritis Masyarakat Sipil Terhadap Tata Kelola Pemerintahan Aceh Tahun 2022

Catatan Kritis Masyarakat Sipil Terhadap Tata Kelola Pemerintahan Aceh Tahun 2022

Selasa, 17 Januari 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Konferensi pers di Kantor MaTA, Banda Aceh, Selasa (17/1/2023). [Foto: Naufal Habibi/Dialeksis]


Masalah utamanya adalah masih terlihat nyata ketimpangan penguasaan lahan di Aceh. Lahan pertanahan masih didominasi penguasaan individu dalam skala besar. 

Dampaknya, ketersediaan lahan menjadi semakin krisis, yang kemudian memicu laju angka konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat atau konflik masyarakat dengan perusahaan investasi SDA, atau bahkan pemerintah dengan perusahaan. Dan bahkan ketersediaan lahan menjadi ancaman keberlangsungan ekologis. 

"Kerusakan lingkungan hidup adalah dampak yang tidak bisa dihindari, hingga tahun 2022 angka kasus perampasan tanah rakyat meningkat. Akibat dari rampasan lahan tersebut, masyarakat kehilangan 2.634 Ha wilayah kelolanya, lahan pertanian sebagai sumber ekonomi keluarga Korban akibat konflik perampasan lahan tersebut mencapai 3.779 Selain itu juga terdapat 58 orang Korban Kriminalisasi, dipenjara atas laporan perusahaan akibat mempertahankan tanah kelolanya. Tidak hanya itu, penderitaan yang dalam oleh masyarakat korban pun lebih kejam, terdapat 8 orang yang diculik secara paksa, untuk diminta melepaskan lahan yang sedang dikelolanya," ujarnya. 

Yang keempat, lanjutnya Memberi Impunitas Bagi Pelaku Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh. 

Yang kelima, gagalnya Mempertahankan Sistem Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan Pasca Perdamaian Aceh 

"Terdapat beberapa catatan penting yang berkaitan dengan perkembangan kondisi demokrasi pasca perdamaian di Aceh, diantaranya yaitu gagalnya mempertahankan ruh UU Pemerintah Aceh, gagalnya Melakukan Perbaikan Tata Kelola Birokrasi Pemerintahan dan Unprosedural Pengangkatan Pj. Gubernur Aceh," ujarnya. 

Yang terakhir, lanjutnya, melemahnya Kesetaraan serta Perlindungan Perempuan dan Anak. Pemerintah Aceh gagal dalam melindungi perempuan dan anak. Praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terjadi di Aceh. 

Sepanjang tahun 2022 terdapat 1.299 bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kasus kekerasan terhadap anak terdapat 679 bentuk kekerasan, yang didominasi oleh kekerasan seksual. Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 620 bentuk kekerasan, yang juga didominasi oleh kasus kekerasan seksual. 

"Permasalahan lain adalah, ruang partisipasi perempuan masih sangat sempit di Aceh. Keterlibatan perempuan sebagai partisipasi dalam pengambilan kebijakan masih tidak berjalan dengan baik. Dan permasalahan terakhir adalah pemenuhan hak perempuan sebagai korban konflik masa lalu di Aceh. Perempuan korban konflik tidak mendapatkan hak atas pemulihan fisik secara optimal," tutupnya. [NH]

Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda