DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur dan Pendiri Aceh Governance Lab, Chaidir Ali mengatakan dana Otonomi Khusus (Otsus) merupakan salah satu elemen paling strategis dalam menjaga stabilitas Aceh pascakonflik.
“Kalau kita melihat dari sisi makro, Otsus berperan besar menjaga perdamaian karena ia menciptakan ruang ekonomi dan politik baru bagi kelompok-kelompok yang dulu berseberangan,” ujarnya dalam wawancara dengan media dialeksis.com, Minggu, 5 Oktober 2025.
Ia menjelaskan bahwa keberadaan Otsus berfungsi ganda. Selain menjadi sumber pendanaan pembangunan, ia juga berperan sebagai instrumen rekonsiliasi politik antara mantan kombatan dan pemerintah pusat.
“Otsus adalah bagian dari arsitektur perdamaian itu sendiri. Ia menjadi jembatan ekonomi sekaligus simbol pengakuan politik terhadap Aceh,” kata Chaidir.
Namun ia mengingatkan, ketergantungan terhadap dana ini menimbulkan risiko baru. “Ketika dana Otsus menjadi tulang punggung ekonomi daerah tanpa diversifikasi sumber lain, perdamaian pun menjadi sangat bergantung pada keberlanjutan transfer fiskal dari pusat,” tambahnya.
Chaidir menilai, konflik Aceh tidak hanya disebabkan oleh perbedaan politik pusat dan daerah, tetapi juga ketimpangan ekonomi dan distribusi sumber daya alam yang timpang.
Ironisnya, dua dekade setelah MoU Helsinki, sebagian masalah itu belum sepenuhnya teratasi.
Ia berharap pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) Aceh perlu diarahkan pada program yang benar-benar menyentuh kepentingan rakyat.
Prioritas utama seharusnya difokuskan pada layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur pedesaan, serta pemberdayaan ekonomi lokal, bukan pada proyek-proyek simbolis yang hanya memperkaya segelintir elite.
Selain itu, ia menilai Pemerintah Aceh perlu mulai menyiapkan strategi keluar (exit strategy) fiskal, mengingat masa berlaku dana Otsus terbatas dan pembahasan perpanjangannya masih berlangsung. Penguatan kapasitas fiskal daerah dinilai penting agar Aceh tidak terus bergantung pada transfer pusat.
Langkah lain yang tak kalah penting adalah memperkuat mekanisme akuntabilitas dan transparansi, melalui pelaporan publik, audit independen, serta pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan penggunaan dana Otsus.
“Dulu masyarakat marah karena hasil bumi Aceh diambil pusat. Sekarang, ada kekecewaan karena hasil Otsus justru dinikmati oleh segelintir elite lokal,” ujarnya.
Menurutnya, banyak proyek yang lahir dari dana Otsus berorientasi pada pembangunan fisik semata, bukan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Sementara itu, kelompok muda dan masyarakat desa masih menghadapi keterbatasan lapangan kerja, pendidikan, dan akses modal.
“Seharusnya Otsus menjadi alat untuk mengoreksi ketimpangan struktural, bukan sekadar proyek jangka pendek. Ketika pembangunan tidak menyentuh basis ekonomi rakyat, perdamaian menjadi rapuh,” tegas Chaidir.
Dana Otsus juga berdampak besar pada dinamika politik lokal di Aceh. Setelah damai, muncul generasi baru politisi yang sebagian besar berasal dari latar belakang mantan kombatan GAM. Banyak di antara mereka kemudian menjadi kepala daerah, anggota legislatif, atau pengusaha proyek.
Chaidir menilai fenomena ini wajar dalam konteks transisi pascakonflik, namun berpotensi menimbulkan pola ketimpangan baru.
“Hubungan antara distribusi Otsus dan stabilitas politik di Aceh itu sangat erat. Selama alokasinya berjalan lancar, situasi politik relatif stabil. Tapi ketika dana ini menjadi ajang perebutan, tensinya meningkat,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, distribusi Otsus yang tidak merata menimbulkan friksi antara daerah kaya sumber daya dengan daerah yang bergantung penuh pada transfer fiskal.
"Ada gejala di mana Otsus menjadi alat politik baru untuk mempertahankan kekuasaan, bukan lagi sarana pemerataan,” ujarnya.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dana Otsus akan berakhir pada tahun 2027. Sejak 2008, total dana yang telah digelontorkan ke Aceh diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 triliun.
“Kita sedang mendekati masa post-Otsus shock. Banyak daerah belum punya strategi fiskal alternatif, belum mandiri dari transfer pusat. Jika ini tidak disiapkan dengan baik, Aceh bisa menghadapi ketegangan sosial baru,” ungkap Chaidir.
Ia menekankan pentingnya membangun ekonomi produktif berbasis potensi lokal seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata untuk menggantikan peran dana hibah.
"Perdamaian sejati tidak boleh bergantung pada uang. Ia harus ditopang oleh rasa keadilan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kita harus berani keluar dari logika kompensasi politik menuju logika pembangunan berkelanjutan. Itulah satu-satunya cara agar damai Aceh tidak berhenti bersama berhentinya dana Otsus,” tutupnya.