Rabu, 22 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dari Dayah ke Kampus: Refleksi Hari Santri dalam Lensa Akademisi Aceh

Dari Dayah ke Kampus: Refleksi Hari Santri dalam Lensa Akademisi Aceh

Rabu, 22 Oktober 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Tgk.H. Dr. Teuku Zulkhairi, MA. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di balik tembok beton kampus UIN Ar-Raniry, Tgk.H. Dr. Teuku Zulkhairi, MA masih menjaga aroma dayah dalam setiap diskusi akademisnya. 

Mantan santri Dayah Babussalam Matangkuli ini menyoroti fenomena Hari Santri dengan pandangan yang khas.

"Kita sering terjebak dalam romantisme masa lalu," ujar Zulkhairi di sela-sela mengoreksi tugas mahasiswanya kepada Dialeksis, Rabu (22/10). 

"Padahal, tantangan santri hari ini jauh lebih kompleks."

Pria yang aktif di PB HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) ini memandang perlu redefinisi peran santri di era digital. 

Menurutnya, dayah tidak boleh sekadar menjadi menara gading yang mempertahankan tradisi, tapi harus mampu merespons problem kekinian.

Zulkhairi menggambarkan perubahan landscape pendidikan dayah di Aceh. 

"Dulu, santri hanya belajar kitab kuning. Sekarang, mereka harus melek digital, memahami media sosial, bahkan mampu melahirkan konten-konten keislaman yang moderat," ujarnya kepada Dialeksis. 

Dayah Babussalam Matangkuli, almamaternya, telah memulai transformasi ini dengan berkontribusi pada pendirian Pendidikan Diniyah Formal (PDF) Babussalam Matangkuli dan Ma'had Aly yang fokus pada studi Tafsir dan Ilmu Tafsir. 

"Saya kira ini akan menjadi bagian dari jawaban atas tantangan zaman yang kita hadapi," ujarnya.

Dalam penelitiannya yang dipublikasi di Jurnal Ilmiah Pioner, Zulkhairi menemukan pola menarik. "Gaya hidup santri yang sederhana dan penuh ukhuwah justru menjadi obat bagi problem masyarakat modern," paparnya.

Namun, dia mengingatkan: "Jangan sampai nilai-nilai luhur itu tergerus arus globalisasi. Santri harus jadi filter, bukan follower."

Zulkhairi menekankan pentingnya keseimbangan. "Kita harus menjaga khazanah keilmuan tradisional sambil membuka diri terhadap perkembangan zaman."

Dia mencontohkan, para santri sekarang tidak hanya harus menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Inggris dan teknologi informasi. "Ini bukan pilihan, tapi keharusan," tegasnya.

Menurut Zulkhairi, peringatan Hari Santri harus menjadi momentum introspeksi. "Sudah sejauh mana kita memberdayakan santri? Apakah dayah sudah mampu menjadi laboratorium perdamaian dan toleransi dimana dunia akan belajar kepada kita ?"

Dia mengajak semua pihak untuk melihat Hari Santri beyond seremonial. 

"Yang kita butuhkan adalah action plan yang konkret untuk memajukan pendidikan dayah."

Zulkhairi optimistis dengan masa depan santri Aceh. "Mereka punya basis agama yang kuat plus wawasan global. Ini kombinasi yang powerful."

Dia berharap, santri masa depan tidak hanya menjadi penerus tradisi, tapi juga inovator yang mampu menjawab tantangan zaman dengan kearifan lokal.

"Santri harus menjadi problem solver, bukan sekadar penonton dalam percaturan global," pungkas Wakil Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh ini.

Selain itu, ia juga menekankan agar pemberdayaan kapasitas menulis santri dayah menjadi perhatian serius dari pemerintah. Banyak santri yang sudah mahir menulis buku dan kitab, tapi kesulitan menerbitkan karya-karya mereka karena faktor finansial.

"Peringatan Hari Santri oleh stakeholder terkait idealnya bisa menjawab tantangan santri seperti ini,"pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI