kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Deforestasi di Aceh Kian Masif, Pencegahan Belum Maksimal

Deforestasi di Aceh Kian Masif, Pencegahan Belum Maksimal

Kamis, 29 Desember 2022 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Diskusi publik yang bertajuk "Mencegah deforestasi dan kerusakan lingkungan dalam mengatasi dampak perubahan iklim di Aceh" di Paopia Garden Cafe, Banda Aceh, Kamis, (29/12/2022). [Foto: Dialeksis/Naufal Habibi]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengadakan diskusi publik yang bertajuk "Mencegah deforestasi dan kerusakan lingkungan dalam mengatasi dampak perubahan iklim di Aceh" di Paopia Garden Cafe, Banda Aceh, Kamis (29/12/2022). 

Koordinator Perubahan Iklim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Rikky Mulyawan mengatakan Pada periode 1990-1996 deforestasi belum terjadi di Aceh mengingat pada saat tersebut konflik bersenjata sedang terjadi sehingga aktifitas dalam sektor berbasis lahan masih masih sangat terbatas.

Menurutnya, deforestasi di Aceh baru dimulai pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000 dengan luas mencapai 86,000 hektar.

"Setelah periode tersebut, luas deforestasi tahunan cenderung menurun dan meningkat kembali pada periode tahun 2006 hingga 2013 pasca peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh, sejalan dengan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi," kata Rikky.

Rikky menambahkan, Pengelolaan hutan yang telah dilakukan secara bersama pada masa lalu terbukti belum seluruhnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan selanjutnya hendaknya diselenggarakan melalui pendekatan biofisik pada suatu kawasan pengembangan yang dilakukan secara simultan dengan melibatkan berbagai stakeholder atau dilakukan secara terpadu dan inovatif.

"Berdasarkan kondisi lahannya, rata rata deforestasi lebih banyak terjadi di tanah mineral yang mencapai luas 21.675 hektar per tahun (87%) dan dalam jumlah sedikit di tanah gambut mencapai luas 3.356 hektar per tahun (13%)," ujarnya.

Sementara itu Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala, Suraiya Kamaruzzaman mengatakan dalam rangka menunjang strategi mitigasi dan perubahan iklim di Aceh, Pemerintah perlu tegas dalam menerapkan peraturan qanun perlindungan lahan pertanian berkelanjutan terutama lahan persawahan.

Hal ini sebagai jaminan perlindungan hutan berkelanjutan di bagian hulu daerah aliran sungai untuk memastikan ketersediaan air untuk irigasi.

"Dukungan pemerintah untuk mengembangkan dan percepatan adopsi teknologi usaha tani yg lebih produktif dan adaptif terhadap perubahan iklim. Selain itu, sosialisasi dan bimbingan secara berkelanjutan dari Dinas Pertanian tentang perubahan iklim kepada penyuluh pertanian," kata Suraiya.

Suraiyya menambahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh para akademisi mengenai mitigasi strategi petani padi terhadap perubahan iklim di Kabupaten Aceh Besar tahun 2022, telah terjadi perubahan iklim di Kabupaten Aceh Besar yang ditandai dengan meningkatnya curah hujan hingga gagal panen yang di alami oleh petani setempat.

"Menurut klasifikasi periode pertama tahun 1990-2000 ke periode tahun 2011-2020 dari klasifikasi iklim E2 ke klasifikasi D2 dan terjadi peningkatan curah hujan mencapai 593 mm/tahun. Selain itu juga meningkatnya rerata suhu dari periode pertama tahun 1992-2000 ke periode ketiga tahun 2011-2020 mencapai 1.9oC," ujarnya.

Sementara itu, Staf Komunikasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Irham Hudaya Yunardi, mengatakan bahwa di Aceh masih banyak tutupan hutan yang tergabung dan bersambungan antar daerah di seluruh wilayah Aceh.

Menurut Irham, Secara akumulatif kehilangan tutupan itu paling banyak terjadi di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Utara dan Aceh Timur. Dugaan terjadinya kehilangan tutupan hutan ini paling banyak terjadi di hulu sehingga menimbulkan dampak ke hilir.

"Ini bisa menimbulkan bencana seperti kekeringan dan banjir yang telah terjadi di Aceh Utara dan Aceh Timur. Tutupan hutan yang ada di hulu itu sangat merefleksikan bencana-bencana yang terjadi di hilir," kata Irham.

Irham menambahkan dugaan pembukaan lahan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) paling signifikan terjadi di Aceh Selatan dibandingkan yang terjadi di Aceh Timur. Di Aceh Selatan ada 1.704 hektar hutan yang kehilangan tutupannya dari periode januari hingga akhir 2022.

"Ini harus kita lindungi bersama-sama," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Riset dan Data FJL Aceh, Muhammad Saifullah mengatakan dampak deforestasi itu ada bermacam-macam yang menjadi persoalan lingkungan, seperti konflik satwa dan perambahan hutan.

"Saat ini, banyak isu lingkungan yang masih belum banyak tersentuh pemberitaan, padahal ini sangat menyangkut pada masa depan kita," kata Saifullah.

Saifullah menambahkan persoalan lingkungan yang terjadi di Aceh bukan hanya dari hutan saja tapi ada juga di sektor laut dan perkotaan. Dalam hal perkotaan tentunya persoalan sampah menjadi isu yang sering disorot oleh media.

Dirinya mempertanyakan mengenai pendataan sampah di Aceh. Menurutnya dari 23 kabupaten/kota di Aceh, hanya 6 kabupaten/kota yang terdata sampahnya, sedangkan yang lainnya mungkin ada yang dibuang ke sungai atau dibakar.

"Ini kan bisa membuat persoalan lingkungan kedepannya," ujarnya.

Dalam sesi tanya jawab, Jurnalis Mongabay, Junaidi Hanafiah menanggapi mengenai persoalan lingkungan yang ada di Aceh.

Dirinya meminta kepada segenap pemangku kepentingan publik untuk berhenti saling menyalahkan.

"Kita harus berhenti menyalahkan bahwa yang menghancurkan hutan itu dari orang miskin karena katanya memang saya pernah ke Ketambe di jalan itu ada bukit-bukit kecil yang mana sudah kosong semua. Masyarakat itu bilang itu punya Bupati ini dengan luas sekian, itu punya mantan Bupati B dan itu punya DPRK ini," kata Junaidi.

Di sesi akhir, Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Zulkarnaini Masry mengatakan, bahwa diskusi ini digelar sebagai wadah bagi lembaga terkait untuk dapat memberikan pandangannya terhadap kondisi lingkungan di Aceh.

Lanjutnya, dalam diskusi ini ia berharap setiap fakta yang dipaparkan oleh para narasumber bisa dikemas oleh para jurnalis dalam bentuk karya jurnalistik yang bermanfaat bagi masyarakat.

"Jurnalis adalah jembatan pengetahuan kepada masyarakat. Kami menyadari terutama di Forum Jurnalis Lingkungan belum expert ketika berbicara isu konservasi. Masih banyak pengetahuan dan kata yang belum begitu tepat dalam menuliskan karya jurnalistik saya rasa ini tanggung jawab kita semua," tutup Zulkarnaini.

Diskusi tersebut di ikuti oleh tiga puluh peserta yang terdiri dari para jurnalis dan perwakilan lembaga terkait yang dipandu oleh Jurnalis Digdata.Id, Afifuddin, dengan menghadirkan empat narasumber yaitu, Koordinator Perubahan Iklim DLHK Aceh, Rikky Mulyawan, Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala, Suraiya Kamaruzzaman, Staf Komunikasi Yayasan HaKA, Irham Hudaya Yunardi dan Kepala Departemen Riset dan Data FJL Aceh, Muhammad Saifullah. [NH]


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda