DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah suasana duka dan penderitaan masyarakat Aceh akibat rangkaian bencana banjir dan longsor yang belum sepenuhnya pulih, muncul insiden antara warga dan aparat keamanan di Simpang Kandang, Kota Lhokseumawe. Peristiwa ini dipicu konvoi pengibaran bendera bulan bintang dan berujung pada ketegangan di lapangan.
Situasi tersebut semakin memantik perhatian publik setelah sebelumnya terjadi demonstrasi di depan Kantor Bupati Aceh Utara yang juga diwarnai dugaan tindakan represif aparat TNI terhadap massa. Rangkaian peristiwa ini dinilai memperlihatkan kegagalan negara dalam membaca suasana batin masyarakat yang sedang dilanda krisis dan kedukaan.
Menyikapi kondisi tersebut, Dialeksis menghubungi Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. Ia menegaskan bahwa kekerasan tidak boleh dijadikan instrumen utama dalam merespons dinamika sosial di tengah masyarakat.
“Kekerasan seharusnya diputus pada level kebijakan, bukan justru dengan mengerahkan tentara untuk meredam massa. Jika itu terus dilakukan, kita hanya akan terjebak dalam spiral kekerasan yang tidak ada ujungnya. Militerisme justru akan mengundang kemarahan rakyat,” ujar Azharul.
Menurutnya, berbagai ekspresi yang muncul di tengah masyarakat, termasuk pengibaran bendera dan aksi demonstrasi, tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai persoalan politik semata. Ia menilai hal tersebut merupakan luapan kekecewaan yang lahir dari rasa tidak didengar dan tidak ditangani secara layak.
“Kalau sejak awal kebijakan yang diambil benar-benar baik, populis, dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam menangani krisis bencana, maka kondisi hari ini tidak akan muncul. Orang tidak akan mengibarkan bendera, tidak akan turun ke jalan. Ini harus dibaca sebagai ekspresi kekecewaan, bukan ancaman,” katanya.
Azharul menekankan bahwa pemerintah seharusnya menggeser fokus dari pendekatan keamanan ke pendekatan kemanusiaan. Menurut dia, ada dua hal mendasar yang perlu disorot secara serius, yakni pendekatan dalam penanganan bencana dan pendekatan dalam merespons kekecewaan masyarakat.
“Yang kami tolak adalah pendekatan yang berwatak kekerasan. Negara seharusnya hadir dengan empati, dialog, dan kebijakan yang menjawab kebutuhan warga, bukan dengan represi,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa dalam sistem komando, tanggung jawab atas tindakan kekerasan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pimpinan. Negara, kata dia, wajib memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan melalui mekanisme hukum dan institusional yang berlaku.
“Pertanggungjawaban itu ada pada struktur dan pimpinan. Silakan gunakan mekanisme yang ada secara terbuka dan adil. Ini penting agar publik tidak kehilangan kepercayaan dan luka sosial tidak semakin dalam,” tambah Azharul.
KontraS Aceh mengingatkan, di tengah situasi kebencanaan, pendekatan yang mengedepankan kekuatan justru berpotensi memperlebar jurang antara negara dan rakyat. Yang dibutuhkan saat ini bukan demonstrasi kekuasaan, melainkan kehadiran negara yang menenangkan, melindungi, dan memulihkan martabat warganya.