DIALEKSIS.COM | Aceh - Wacana perubahan nomenklatur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menjadi Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif mendapat sambutan positif dari Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal.
Menurutnya, usulan yang disampaikan oleh Ketua Umum GEKRAFS Aceh, Sunnyl Iqbal, merupakan langkah strategis untuk memperkuat ekosistem ekonomi kreatif di Aceh agar lebih terintegrasi dengan sektor kebudayaan dan pariwisata.
“Kami menyambut baik dan memandang wacana ini sangat konstruktif. Ekonomi kreatif memang tidak bisa berdiri sendiri, ia tumbuh dan berkembang di ruang yang sama dengan kebudayaan dan pariwisata. Karena itu, menyatukan tiga sektor ini dalam satu nomenklatur adalah langkah maju,” ujar Almuniza kepada Dialeksis.com, Sabtu (4/10/2025).
Almuniza menilai, perubahan nomenklatur tersebut bukan sekadar soal nama, melainkan penyelarasan visi dan arah pembangunan ekonomi Aceh berbasis budaya dan kreativitas.
“Budaya adalah akar, pariwisata adalah etalase, dan ekonomi kreatif adalah hasil inovasi dari dua unsur itu. Bila ketiganya bergerak serentak, maka kita tidak hanya bicara soal kunjungan wisata, tapi juga kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah,” jelasnya.
Ia menambahkan, selama ini Disbudpar Aceh telah berupaya membuka ruang kolaborasi bagi pelaku kreatif, termasuk dengan komunitas, seniman, desainer, dan sineas muda Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor ekonomi kreatif di Aceh mulai menunjukkan geliat melalui kegiatan creative market, festival film, kuliner lokal, hingga musik dan craft industry.
“Ekonomi kreatif itu tidak lepas dari kerja lintas sektor. Kami terus memperkuat kolaborasi agar potensi anak muda Aceh di bidang film, fesyen, kuliner, musik, dan kriya bisa terwadahi lebih baik,” tambahnya.
Menanggapi kesiapan instansinya jika nomenklatur baru disetujui, Almuniza memastikan Disbudpar siap menjalankan mandat tersebut. Ia menegaskan bahwa perangkat organisasi, sumber daya manusia, dan arah kebijakan pembangunan sudah mengarah ke model integratif yang diusulkan oleh GEKRAFS.
“Secara struktur dan kapasitas, kami siap. Banyak program Disbudpar yang selama ini sudah beririsan dengan ekonomi kreatif, misalnya pengembangan heritage-based tourism, festival budaya, dan pelatihan ekonomi kreatif bagi pelaku UMKM pariwisata. Jadi, jika nomenklatur berubah, tinggal memperkuat koordinasi dan kerangka regulasinya,” paparnya.
Almuniza juga menilai bahwa langkah ini akan mempertegas peran Aceh sebagai salah satu daerah dengan kekayaan budaya terbesar di Indonesia yang memiliki potensi besar menjadi creative destination.
“Bayangkan, dari kuliner khas, seni tradisi, hingga sinematografi, semua punya nilai ekonomi tinggi bila dikembangkan dengan strategi yang tepat. Jadi, saya setuju dengan semangat yang disampaikan oleh GEKRAFS kita perlu menempatkan ekonomi kreatif dalam arus utama pembangunan daerah,” ujar Almuniza.
Lebih lanjut, Almuniza berharap agar usulan perubahan nomenklatur tersebut dibahas secara komprehensif lintas instansi, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, agar sejalan dengan kebijakan nasional.
“Ini bukan hanya soal nomenklatur, tapi arah kebijakan yang lebih visioner. Jika kita ingin Aceh menjadi daerah destinasi budaya dan ekonomi kreatif yang unggul, maka langkah ini memang harus ditempuh. Dan Disbudpar siap menjadi garda depan untuk mewujudkannya,” tegasnya.
Ia menutup dengan nada optimis, “Aceh punya potensi besar. Dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku kreatif, dan masyarakat, saya yakin integrasi kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif akan membawa Aceh menjadi wilayah yang bukan hanya dikunjungi, tetapi juga menginspirasi.” [arn]