kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Diskusi dan Nobar Film, Cara Mahasiswa Aceh Peringati Hari Laut Sedunia

Diskusi dan Nobar Film, Cara Mahasiswa Aceh Peringati Hari Laut Sedunia

Kamis, 09 Juni 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Diskusi dan nonton Bareng Film Before You Eat di Aula Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Aceh, Kamis (9/6/2022). [Foto: Naufal/Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Film Before You Eat merupakan film yang mengungkapkan praktik  perbudakan modern bagi anak buah kapal, perdagangan manusia dan kerusakan lingkungan. 

Perlakukan yang menyedihkan terhadap anak buah kapal (ABK) ini bukanlah hal yang baru. Tak jarang ABK indonesia menjadi korban kerja paksa dan perbudakan modern di kapal perikanan ilegal, yang tak hanya mencederai lingkungan dengan menyebabkan kondisi stok ikan dan ekosistem laut terancam. 

Film ini diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) didukung Greenpeace Indonesia. 

Film ini menyorot kondisi para ABK yang meninggal karena sakit dan tidak diobati hingga dilarung ke laut tanpa persetujuan keluarga. Kekerasan yang dialami, kontrak kerja yang tidak jelas, dan tipu muslihat agen-agen perekrutan, serta prosedur pengiriman ABK yang tidak transparan membuat praktik ini disebut sebagai perbudakan modern. 

Penayangan kali ini digelar di Aula Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Kamis (9/6/2022) disertai diskusi bertajuk “membangun kawasan kritis kaum muda dan intelektual dalam menyikapi kasus perbudakan di atas kapal perikanan asing”.

Pemutaran film Before You Eat berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kelautan dan Perikanan (BEM FKP) USK, Himpunan Ilmu Kelautan, Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, Sahabat Laut, Rumoh Transparansi dan Literasi Visual. 

Dalam sesi diskusi kali ini menghadirkan tiga  narasumber yakni Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution, Direktur Rumah Transparasi Crisna Akbar dan Dr. Ir. Muhammad Irham M.Si. Wakil Dekan III Bagian Kemahasiswaan dan alumni Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala. 

Peserta nobar diikuti dari berbagai kalangan mahasiswa dan komunitas masyarakat di Aceh. 

Film bedurasi 97 menit ini diproduksi sejak 2019 dan ditayangkan secara perdana di Indonesia sejak Maret 2022. 

Pemateri pertama Wakil Dekan III Bagian Kemahasiswaan dan alumni FKP USK, Dr. Ir. Muhammad Irham M.Si mengatakan film ini menceritakan tentang sistem rusak yang terjadi dalam tatanan sosial kita. Kemiskinan jadi acuan utama rusaknya sistem tersebut. 

"Sebenarnya sistem yang rusak dibalas dengan sistem yang bagus. Sistem yang rusak itu karena kemiskinan, tidak tahu aturan, kenapa kita miskin karena kita kurang dalam pendidikan," tutur Muhammad Irham. 

Selain itu, tambahnya perlindungan hukum yang bermasalah dan ekonomi itu sebagai salah satu penyebab adanya praktik perbudakan di Laut. 

"Jadi orang miskin harus belajar. Apalagi sekolah sekarang gak harus bayar dari kearifan lokal bisa juga. Kedua, kurang pendidikan. Kurangnya perlindungan terhadap masyarakat dan uang berbicara dalam segala. Ini tidak dapat dibantah. Kita semua membutuhkan uang," ujarnya.

Dirinya juga mengatakan regulasi itu bagus karena kualitas pendidikan sudah baik.

"Jangan takut bekerja di laut. Di luar negeri regulasinya sudah bagus. Kalau anda berpendidikan, maka anda tidak akan dieksploitasikan," pungkasnya. 

Pemateri selanjutnya, Arif Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara mengatakan film dihadirkan untuk membangun kesadaran publik untuk menonton. Film ini agar mencari solusi yang terjadi di kelautan dan perikanan Indonesia. 

"Soal yang diusut tetap soal upah, tanggung jawab tetap pemerintah. Aturan sudah ada, tapi masih lalai dalam penegakan hukum," ujar Arif. 

Dirinya menambahkan, solusi tepat yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan aksi sosial, baik personal maupun komunitas guna mendorong masalah ini terselesaikan. 

"Masalahnya sudah mendasar di konteks sosial dari kemiskinan. Solusinya melakukan aksi sosial dengan mendesak dan mendorong agar masalah ini terselesaikan. Suara mahasiswa dan media menghadirkan solusi yang berdampak," pungkasnya. [NH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda