Jum`at, 25 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Diskusi Kesejahteraan Buruh, Koalisi NGO HAM Aceh: Negara Harus Hadir!

Diskusi Kesejahteraan Buruh, Koalisi NGO HAM Aceh: Negara Harus Hadir!

Jum`at, 25 April 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Negara semestinya hadir untuk memastikan buruh mendapatkan upah, jaminan, serta lingkungan kerja yang layak. Demikian disampaikan oleh Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil Arista, dalam diskusi publik yang digelar di Ivory Coffee, Kamis (24/4/2025), mengangkat tema “Mengawal Kebijakan Pemerintah dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Buruh.”

“Kita sering berteriak di Hari Buruh, tapi terkadang lupa makna sejati dari May Day,” ujar Khairil dalam sambutannya.

Diskusi tersebut diikuti oleh sekitar lima puluh mahasiswa dari berbagai universitas di Aceh. Hadir pula dua narasumber lainnya, yakni Pengamat Politik dan Ekonomi Aceh, Dr. Taufiq A. Rahim, Ph.D, serta Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, Habibi Inseun, SE.

Khairil menyoroti realitas buruh di Aceh yang kerap luput dari perhatian. “Banyak dari kita merasa bukan buruh, padahal bekerja di kebun sawit, SPBU, atau terminal. Standar pendapatan belum merata, ditambah ketimpangan psikologis sosial di masyarakat. Banyak dari mereka bekerja di lahan yang bukan milik sendiri, sehingga saat dilakukan pendataan, angka kemiskinan tetap tinggi,” katanya.

Ia juga menyinggung kondisi pekerja di Banda Aceh, di mana sekitar 50% adalah pekerja kantoran, sementara sisanya merupakan buruh kasar dan masyarakat miskin kota yang suaranya kian jarang terdengar. 

“Biaya hidup tinggi, tapi masih ada office boy yang digaji di bawah UMR. Di sinilah negara harus hadir,” tegasnya.

Lebih lanjut, Khairil meminta pemerintah tidak bersikap diskriminatif dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan. Ia menekankan pentingnya pembukaan lapangan kerja dan penghentian pemecatan sepihak. 

“Seringkali pabrik diminta memprioritaskan tenaga lokal, namun lulusan sarjana enggan kembali ke kampung halaman, sementara mayoritas penduduk sekitar hanya berpendidikan SMA,” jelasnya.

Ketua DPW FSPMI Aceh, Habibi Inseun, menambahkan bahwa tema diskusi bukan hanya untuk memperingati Hari Buruh 1 Mei, melainkan sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk memperjuangkan hak-hak buruh. 

“Kondisi buruh kita sangat rentan secara ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah,” ujarnya.

Habibi juga menjelaskan bahwa secara terminologi, siapapun yang menerima upah, bukan gaji, dapat disebut sebagai buruh. 

“Buruh formal dan informal di Aceh sudah ada sejak lama, bahkan sebelum tsunami,” tambahnya.

Ia menilai bahwa untuk menjadi negara sejahtera, Indonesia harus memulai dari kesetaraan kesempatan, distribusi pendapatan yang adil, serta upah layak. 

“Jika dibandingkan dengan Australia, UMR kita belum cukup memenuhi kebutuhan dasar, padahal beban kerja relatif sama,” katanya.

Habibi juga menyoroti lamanya proses pengesahan Qanun Ketenagakerjaan di Aceh, yang baru disahkan tujuh tahun setelah diajukan. “Ini menunjukkan ketidaksiapan regulator dan legislatif dalam memahami isu ketenagakerjaan. Padahal, Aceh memiliki kekhususan melalui qanun tersebut,” tegasnya.

Menurutnya, gerakan buruh masih terus berdenyut, meski tak selalu tampak di permukaan. “Hanya sedikit buruh swasta di Aceh yang tergabung dalam serikat, tidak sampai 100 ribu orang dari total 2,5 juta angkatan kerja,” pungkas Habibi.

Sementara itu, Dr. Taufiq A. Rahim menilai kesejahteraan buruh harus dikawal oleh legislatif. “Yang makan gaji negara mestinya yang mengawal rakyat, bukan sebaliknya,” ucapnya.

Taufiq mengkritik dominasi pemilik modal yang menurutnya terlalu dekat dengan pengambil kebijakan. “Di luar pemberi kerja dan pemilik modal, semua adalah buruh. Tapi sistem hari ini lebih berpihak pada kapital,” jelasnya.

Ia juga menyoroti indikator kesejahteraan yang belum tercapai, seperti rendahnya pendapatan dan daya beli masyarakat. “Ketika harga naik, banyak orang tak mampu membeli kebutuhan dasar. Inilah yang disebut sebagai kelompok rentan,” kata Taufiq, menambahkan bahwa kesejahteraan telah dipolitisasi melalui praktik pork barrel. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI