DIALEKSIS.COM | Aceh - Dr. Bustami Abubakar, M.Hum, Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Daerah Aceh, menekankan pentingnya upaya pencarian dan perawatan manuskrip asli peninggalan sejarah Aceh. Hal tersebut disampaikannya kepada Dialeksis secara khusus, Banda Aceh, Sabtu (10/15/2025). Menurutnya, manuskrip - manuskrip kuno tersebut bukan hanya bukti peradaban masa lalu, melainkan juga identitas yang menjadi pondasi kebudayaan Aceh masa kini.
“Manuskrip Aceh adalah khazanah tak ternilai. Di dalamnya terkandung kearifan lokal, nilai - nilai agama, sejarah, sastra, hingga ilmu pengetahuan yang menjadi pedoman hidup masyarakat Aceh selama ratusan tahun. Jika kita kehilangan atau mengabaikannya, sama saja kita memutus mata rantai peradaban kita sendiri,” tegas Bustami kepada Dialeksis.
Dalam penyampaiannya, Bustami menjelaskan bahwa Aceh memiliki ribuan manuskrip kuno yang tersebar di berbagai daerah, mulai dari naskah keagamaan, hukum adat, hingga catatan perdagangan dan diplomasi kerajaan. Beberapa di antaranya, seperti Hikayat Prang Sabi dan Tajussalatin, telah diakui dunia sebagai warisan intelektual yang unik. Namun, banyak naskah lainnya masih terpendam di tangan kolektor pribadi atau rusak karena tidak terawat.
“Ironisnya, sebagian manuskrip justru lebih terjaga di perpustakaan luar negeri daripada di Aceh sendiri. Ini menjadi tamparan bagi kita semua. Kita harus bergerak cepat untuk mendigitalisasi, merestorasi, dan mengonservasi naskah-naskah ini sebelum mereka punah ditelan waktu,” ujar antropolog yang juga dosen senior di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tersebut.
Bustami mengungkapkan, faktor utama kerusakan manuskrip Aceh adalah kondisi lingkungan yang tidak terkontrol, seperti kelembapan, serangan serangga, serta praktik penyimpanan yang salah. Selain itu, minimnya kesadaran masyarakat akan nilai historis naskah-naskah tersebut turut memperparah kondisi.
“Banyak keluarga yang menyimpan manuskrip turun-temurun justru tidak tahu cara merawatnya. Naskah-naskah itu sering dibiarkan lapuk di lemari atau loteng rumah. Padahal, dengan teknologi saat ini, kita bisa melakukan digitalisasi untuk menyelamatkan kontennya, sekaligus memastikan fisik naskah tetap terjaga,” paparnya.
Ia mendorong Pemerintah Aceh dan institusi terkait untuk membentuk tim khusus yang fokus pada pendataan, repatriasi, dan konservasi manuskrip. Kolaborasi dengan komunitas lokal, akademisi, dan organisasi internasional juga dinilai krusial untuk mengumpulkan kembali naskah-naskah yang tersebar di luar Aceh.
Di akhir komentarnya, Bustami menyerukan pentingnya edukasi kepada generasi muda. Menurutnya, pengenalan manuskrip harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan kegiatan kebudayaan.
“Anak muda perlu tahu bahwa nenek moyang mereka bukanlah masyarakat terbelakang. Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan. Manuskrip adalah buktinya. Jika kita hilangkan, masa depan Aceh akan kehilangan akar,” tutup pria humoris ini.