Senin, 04 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dua Dekade Damai, Anak Muda Aceh Tuntut Keadilan yang Lebih Substantif

Dua Dekade Damai, Anak Muda Aceh Tuntut Keadilan yang Lebih Substantif

Minggu, 03 Agustus 2025 23:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Cakrawala Muda Aceh menggelar diskusi publik dalam kegiatan bertajuk “Mimbar Bebas Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh” yang diselenggarakan oleh Cakrawala Muda Aceh, Sabtu 2 Agustus 2025 di Aula SMKN 3 Banda Aceh. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005, gema pertanyaan tentang arah dan makna sejati dari perdamaian di Aceh kembali menguat.

Sorotan tersebut mewarnai diskusi publik dalam kegiatan bertajuk “Mimbar Bebas Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh” yang diselenggarakan oleh Cakrawala Muda Aceh, Sabtu 2 Agustus 2025 di Aula SMKN 3 Banda Aceh. 

Dengan tema besar “Damai untuk Keadilan, Demokrasi, dan Kesenjangan Aceh”, forum ini menjadi ruang terbuka bagi kaum muda, akademisi, politisi, dan praktisi hukum untuk mendiskusikan secara jujur dan tajam realitas Aceh dua dekade pascakonflik.

Muhammad Revalansyah, Ketua Umum Cakrawala Muda Aceh menyampaikan kegelisahan yang mewakili banyak suara muda Aceh hari in. Menurutnya, jika damai hanya menjadi proyek birokratik dan komoditas kekuasaan, maka ini sedang memelihara perdamaian yang rapuh.

“Damai harusnya menjadi instrumen transformasi struktural, bukan sekadar jargon untuk mengamankan kursi dan dana publik," ujarnya dalam keterangan yang diterima media dialeksis.com, Minggu, 3 Agustus 2025.

Dalam narasinya, Reval menekankan bahwa selama ini narasi perdamaian dibajak oleh elite politik yang menjadikan MoU Helsinki sebagai warisan untuk segelintir orang, bukan sebagai jalan keluar kolektif dari ketertindasan masa lalu.

Husnul Jamil, akademisi dan pengamat kebijakan publik menyebut bahwa Aceh saat ini mengalami demokrasi delegatif, yakni sebuah sistem di mana rakyat hanya dilibatkan sebatas pemilu, tetapi tidak punya ruang kontrol dalam proses politik selanjutnya.

“Perdamaian yang tidak menyentuh keadilan distributif hanya akan menghasilkan stabilitas semu. Kita menyaksikan damai yang dibungkus rapi tapi menyisakan luka sosial yang belum pulih,” ujar Husnul.

Ia juga mengingatkan bahwa struktur ekonomi Aceh masih menyisakan ketimpangan besar. Sumber daya alam dan dana otsus belum mampu menciptakan keadilan sosial yang merata. 

“Rakyat banyak masih berada di tepi,” katanya.

Diskusi semakin tajam dengan kehadiran narasumber lainnya, seperti dr. H. Nasir Djamil, M.Si. (Anggota DPR RI), Safaruddin, S.H., M.H. (Ketua YARA), dan Jamaludin (Ketua BRA). Ketiganya memaparkan tantangan teknis dan politik dari sisi legislasi, reintegrasi mantan kombatan, hingga stagnasi pemanfaatan dana otonomi khusus (otsus).

Cakrawala Muda Aceh menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak cukup hanya dengan diam dan melestarikan status quo. 

Perdamaian yang abadi membutuhkan keadilan substantif yakni hadirnya keadilan hukum, ekonomi, sosial, dan politik yang nyata dan terasa di setiap gampong.

“Indikator keadilan dan demokrasi substantif belum sepenuhnya terpenuhi. Transparansi dana otsus pun masih menjadi persoalan besar yang belum terselesaikan,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI