Kamis, 07 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dua Dekade MoU Helsinki, Janji Pusat untuk Aceh Masih Banyak yang Tertunda

Dua Dekade MoU Helsinki, Janji Pusat untuk Aceh Masih Banyak yang Tertunda

Kamis, 07 Agustus 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Suadi Sulaiman, atau yang lebih dikenal dengan nama Adi Laweung, mantan kombatan GAM yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPP Partai Aceh. Foto Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun sejak butir perdamaian ditandatangani di Helsinki, Suadi Sulaiman, atau yang lebih dikenal dengan nama Adi Laweung, mantan kombatan GAM yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPP Partai Aceh, mendorong pemerintah pusat gara terus merealisasikan janji-janji terhadap Aceh sesuai perjanjian MoU Helsinki

“Damai itu bukan hanya diamnya senjata. Damai itu ketenangan jiwa, hadirnya keadilan, dan tuntasnya hak-hak yang dijanjikan,” tegas Adi dalam wawancara khusus kepada media Dialeksis, Kamis, 7 Agustus 2025.

Sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh memang menikmati stabilitas politik yang relatif lebih baik. 

Namun, menurut Adi, banyak poin dalam MoU dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang masih sebatas teks indah di atas kertas.

“Persoalan bendera Aceh, batas wilayah, zona ekonomi eksklusif, dan kewenangan lokal belum sepenuhnya dijalankan sesuai semangat MoU. Ini bukan hal kecil, tapi fondasi dari penghormatan terhadap perjanjian itu sendiri,” katanya.

Ia mendesak Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk menyusun daftar inventarisasi terhadap butir-butir MoU yang belum terealisasi. Ia juga menilai revisi UUPA yang tengah berjalan harus benar-benar menggali substansi, bukan berhenti di formalitas legislasi.

“Kita tidak ingin revisi ini jadi kosmetik politik. Ini momentum penting untuk menyempurnakan hak-hak Aceh sebagaimana tertuang dalam perjanjian damai,” ujar Adi.

Salah satu isu paling krusial yang disorot Adi adalah penyediaan lahan bagi mantan kombatan dan korban konflik. Ia menyebut banyak lahan telah tersedia di beberapa wilayah, namun status hukumnya masih menggantung.

“Banyak lahan yang sudah tidak digunakan pemilik HGU-nya, bahkan izinnya sudah kadaluarsa. Tapi masih diklaim dan tidak dialihkan untuk kepentingan rakyat,” ungkapnya.

Adi mendesak Kementerian ATR/BPN untuk mengambil langkah tegas dalam mendata dan menyita lahan-lahan HGU yang tidak produktif. Ia juga menyarankan agar posisi Kepala Kanwil BPN Aceh diisi oleh putra daerah yang telah lolos asesmen nasional.

“Putra Aceh akan lebih memahami karakter lokal dan bisa membangun komunikasi efektif dengan tokoh-tokoh KPA serta pemerintah daerah. Ini bukan hanya soal jabatan, tapi soal efektivitas penyelesaian konflik agraria,” jelasnya.

Adi Laweung juga menaruh perhatian besar pada generasi muda Aceh yang, menurutnya, mulai terputus dari akar sejarah perjuangan daerah ini. Di tengah gempuran media sosial dan budaya populer global, ia khawatir semangat damai akan kehilangan makna jika generasi muda lupa dari mana mereka berasal.

“Kita jangan sampai kesetrum tren yang tidak relevan dengan sejarah dan identitas kita. Simbol-simbol seperti One Piece tak punya kaitan dengan perjuangan kita. Kita perlu kembali pada sejarah sendiri,” tegasnya sambil mengutip pesan almarhum Wali Nanggroe Hasan Tiro: sejarah itu adalah jembatan yang mengaitkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Adi mendukung inisiatif Pemerintah Aceh yang saat ini mulai membangkitkan kembali narasi sejarah lokal, termasuk peristiwa konflik, bencana, dan kebudayaan Aceh.

“Pak Prabowo bahkan sempat bercerita tentang Mualem kepada Presiden Putin. Ini bukan sekadar hubungan formal, tapi ada energi sejarah di baliknya,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa kepemimpinan baru di Aceh Muzakir Manaf dan Fadhullah membawa semangat baru. “Mereka tidak banyak bicara, tapi sudah mulai membuktikan. Misalnya, soal lahan rakyat yang mulai masuk pembahasan dalam bentuk kanun,” ujar Adi.

Ia berharap agar damai tak hanya menjadi upacara tahunan, melainkan jalan hidup yang bermartabat.

“Keadilan itu tidak boleh terus ditunda. Kalau damai hanya berhenti di seremoni, itu artinya kita belum benar-benar berdamai,” ucapnya.

Ia pun berharap, pada peringatan 80 tahun kemerdekaan RI dan 20 tahun damai Aceh pada 17 Agustus mendatang, Presiden Prabowo bisa menyebutkan Aceh dalam pidato kenegaraannya.

“Semoga ini bukan hanya kebetulan sejarah, tapi momen yang sungguh-sungguh untuk menuntaskan janji-janji yang tertunda,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI