Sabtu, 04 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dua Wajah Razia Plat Luar: Bobby Nasution yang Garang, Fadhlullah yang Humanis

Dua Wajah Razia Plat Luar: Bobby Nasution yang Garang, Fadhlullah yang Humanis

Sabtu, 04 Oktober 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, menyapa supir truk berpelat luar Aceh yang melintas di puncak Gunung Gurutee, pada Sabtu, (4/10/2025). Foto: Humas pemerintah Aceh


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua kepala daerah muda di Sumatera, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Muhammad Bobby Afif Nasution dan Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah alias Dek Fad, sama-sama turun ke jalan menyapa kendaraan berplat luar. Namun gaya keduanya bak dua kutub yang berlawanan satu tampil keras dan garang, sementara yang lain memilih jalur empati dan kemanusiaan.

Di Medan, pemberhentian kendaraan berplat luar yang dipimpin Bobby Nasution beberapa waktu lalu menimbulkan beragam komentar publik. Gaya komunikasinya yang tegas bahkan terkesan mengintimidasi membuat sebagian warga menganggapnya arogan. Dalam sejumlah video yang beredar, Bobby terlihat memeriksa sendiri surat-surat kendaraan, memerintah petugas menindak pengendara, hingga menegur sopir dengan nada tinggi.

Sebaliknya, di Aceh, Sabtu, 4 Oktober 2025, suasana serupa justru berlangsung hangat dan santai. Di Aceh Jaya, Wakil Gubernur Fadhlullah saat sedang bersantai dan istirahat usai touring sepeda motor dari Banda Aceh, ia menyapa supir truk berpelat luar Aceh yang melintas di puncak Gunung Gurutee. 

Ia datang dengan kemeja polos dan senyum ramah, menyalami para sopir truk satu per satu, lalu membuka percakapan ringan.

Ada dua truk berpelat luar Aceh yang disapa Wagub Fadhlullah. Satu berpelat BK dan satunya lagi BA. 

“Aman kan di Aceh?” ujarnya sambil menepuk bahu seorang sopir. Si sopir yang semula tegang pun tersenyum. Percakapan berlanjut soal cuaca, harga solar, dan kondisi jalan. 

Di tengah obrolan itu, Fadhlullah merogoh sakunya dan menyerahkan selembar uang. “Ini buat makan di jalan, jangan sungkan,” katanya pelan.

Gestur sederhana itu seketika mencairkan suasana. “Kalau semua pejabat begini, kami tenang lewat Aceh,” kata seorang sopir dari Padang kepada Dialeksis, sambil menepuk setir truknya.

Bagi Fadhlullah, razia bukan ajang pamer ketegasan, melainkan cara mengingatkan dengan sopan. “Kita ingin kendaraan yang beroperasi di Aceh tertib administrasi. Pajaknya jangan dibawa ke daerah lain. Tapi penegakan aturan tak harus membuat rakyat takut,” ujarnya kepada Dialeksis.

Ia meminta aparat di lapangan tidak kaku. “Kita bisa tegas tanpa galak, bisa disiplin tanpa marah-marah. Rakyat bukan objek razia, mereka mitra pembangunan,” tambahnya.

Gaya kepemimpinan seperti ini, kata Dr Nasrul Zaman pengamat kebijakan publik dari Universitas Syiah Kuala, menunjukkan watak lokal Aceh yang masih menjunjung meusapat musyawarah dan empati dalam tindakan. 

“Dek Fad tahu bagaimana menjaga wibawa pemerintah tanpa kehilangan sisi kemanusiaan. Ia hadir bukan sebagai pejabat, tapi sebagai manusia di tengah rakyat,” katanya.

Perbandingan dengan Bobby Nasution tak terhindarkan. Sebagai menantu Presiden Jokowi, Bobby dikenal lugas, cepat mengambil keputusan, dan kerap turun langsung ke lapangan. Tapi gaya kerasnya kerap dianggap publik sebagai bentuk kesewenang-wenangan. 

“Dia lebih seperti komandan ketimbang gubernur,” komentar seorang dosen komunikasi politik di Medan.

Namun, bagi para pendukungnya, gaya itu justru simbol ketegasan. “Bobby cuma ingin menertibkan wilayahnya, supaya orang luar menghormati aturan Sumut,” kata salah satu pengamat politik Sumut.

Masalahnya, kata pengamat tersebut, tegas tanpa empati sering berujung antipati. “Ketika pemimpin menegur rakyat dengan nada tinggi, yang hilang bukan wibawa rakyat, tapi simpati terhadap pemerintah.”

Di Aceh, cara Fadhlullah merespons plat luar menjadi contoh kecil bagaimana aturan bisa ditegakkan dengan cara yang manusiawi. Tidak ada bentakan, tidak ada pengusiran. Hanya percakapan sederhana di pinggir jalan antara pejabat dan sopir truk antara kebijakan dan realitas.

“Kalau mau menertibkan, mulai dari pendekatan yang membuat orang merasa dihargai,” ujarnya lagi.

Ia percaya, kebijakan publik hanya bisa berjalan jika rakyat merasa dilibatkan, bukan ditekan. “Kita bukan menakut-nakuti orang luar, tapi mengajak mereka ikut tertib di Aceh.”

Sebelum meninggalkan lokasi, Fadhlullah kembali menyapa beberapa sopir yang tengah memeriksa surat kendaraan. “Jaga kesehatan, ya. Di Aceh aman, insyaallah,” katanya sambil melambaikan tangan. Para sopir menjawab serentak, “Siap, Pak Wagub!”

Momen kecil itu mungkin tak tercatat di laporan resmi pemerintah. Tapi di mata para sopir, peristiwa itu akan diingat lama karena jarang sekali pejabat datang bukan untuk menegur, melainkan menenangkan.

Perbedaan gaya antara Bobby Nasution dan Fadhlullah menjadi potret dua corak kepemimpinan di era baru: satu menekankan ketertiban, yang lain menegakkan empati. Di Sumut, razia menjadi instrumen kekuasaan; di Aceh, ia berubah menjadi ruang dialog antara pemerintah dan rakyat.

“Kalau semua pejabat turun ke lapangan dengan hati seperti Dek Fad, mungkin rakyat tak lagi takut dengan kebijakan,” kata seorang warga Aceh Besar yang ikut menyaksikan momen itu.

Fadhlullah menunjukkan, ketegasan tak harus dibarengi dengan bentakan. Ia menjadikan razia sebagai momentum untuk mendekatkan diri pada rakyat, bukan menjauhkan.

Dalam diamnya yang bersahaja, ia menegaskan satu hal kepemimpinan sejati bukan soal berapa banyak aturan ditegakkan, tetapi seberapa besar hati pemimpin hadir di tengah rakyatnya.

“Kalau mau menegakkan aturan, sentuh dulu hati rakyat,” ucapnya tenang sebelum meninggalkan lokasi razia.

Sebuah kalimat sederhana yang menjelma jadi cermin: bahwa kekuasaan tanpa empati hanyalah otoritas yang hampa.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI