kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Elemen Sipil Tuding DPR Aceh Gagalkan Salah Satu Pasangan Calon Gubernur

Elemen Sipil Tuding DPR Aceh Gagalkan Salah Satu Pasangan Calon Gubernur

Minggu, 22 September 2024 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Zulfikar Muhammad, Juru Bicara Elemen Sipil. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang penetapan pasangan calon gubernur Aceh pada 22 September 2024, perhatian publik semakin terfokus pada dinamika politik yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

Zulfikar Muhammad, Juru Bicara Elemen Sipil, dengan tegas menyuarakan kekhawatiran mengenai tindakan DPRA yang dianggap mengancam integritas proses pemilihan. 

Menurutnya, ketidakjelasan terkait jadwal paripurna yang seharusnya dilaksanakan menjadi indikasi adanya rekayasa politik untuk menggagalkan salah satu pasangan calon.

“Kami dari elemen sipil melihat ini sebagai upaya yang disengaja untuk menghambat proses pemilihan gubernur. Ketidakpastian jadwal paripurna mencerminkan adanya kepentingan tersembunyi yang bertujuan untuk menjegal salah satu pasangan calon,” ujar Zulfikar kepada Dialeksis.com, Minggu (22/9/2024).

Lebih lanjut, Zulfikar menegaskan bahwa jika benar salah satu pasangan calon tidak menandatangani komitmen untuk menjalankan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan butir-butir MoU Helsinki, hal itu tidak seharusnya menjadi alasan untuk mendiskualifikasi mereka.

"Semua dokumen yang disyaratkan oleh undang-undang Pilkada telah dipenuhi. Kami menegaskan bahwa seluruh calon yang telah melalui proses verifikasi dan memenuhi syarat sesuai undang-undang harus tetap diluluskan,” tambahnya.

Zulfikar menekankan bahwa MoU Helsinki dan UUPA adalah dua pilar penting yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap calon pemimpin Aceh. 

Pasal 24 e dari UUPA mengharuskan siapapun yang mencalonkan diri sebagai gubernur Aceh untuk berkomitmen menjalankan keduanya. 

Namun, menurut elemen sipil, tindakan DPRA yang tidak konsisten dalam menegakkan aturan ini menunjukkan bahwa MoU tersebut kini tidak lagi dianggap sakral.

“Tindakan DPRA yang cenderung melupakan esensi MoU Helsinki menunjukkan bahwa dokumen ini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral, melainkan hanya alat politik. Ini sungguh menyedihkan, karena kepentingan rakyat Aceh dikorbankan demi kepentingan kelompok politik tertentu,” tegas Zulfikar.

Dia juga menambahkan bahwa DPRA seharusnya menempatkan MoU sebagai prioritas yang harus dihormati oleh seluruh calon, bukan menjadikannya alat untuk memenangkan salah satu pihak. 

“MoU ini milik rakyat Aceh. Semua pihak, termasuk calon gubernur, harus tunduk pada MoU ini dan berkomitmen menjalankannya. Sikap DPRA saat ini menunjukkan bahwa mereka kurang menghormati sejarah dan komitmen yang telah dibuat dalam MoU Helsinki,” ujar Zulfikar.

Selain itu, elemen sipil mendesak Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap DPRA, yang menurut Zulfikar, menghambat proses pemilihan. 

"Kami meminta KIP untuk bergerak cepat dan mendesak DPRA agar segera melaksanakan paripurna. Penghambatan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas politik Aceh dan agenda strategis nasional,” tegasnya.

Zulfikar memperingatkan bahwa jika DPRA terus menghalangi jalannya proses pemilihan, mereka dapat dianggap melanggar hukum dan berhadapan langsung dengan negara. 

“DPR Aceh tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat Aceh, tetapi juga kepada negara Republik Indonesia. Jika mereka terus mengabaikan aturan, konsekuensinya bisa sangat serius,” ungkap Zulfikar.

Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya KIP untuk berpegang pada undang-undang yang lebih tinggi jika qanun Pilkada Aceh tidak bisa dijalankan dengan baik. 

“Jika KIP tidak mampu melaksanakan qanun Pilkada, sebaiknya tinggalkan qanun tersebut dan patuhi undang-undang Pilkada serta Peraturan KPU yang telah dikeluarkan oleh KPU Republik Indonesia. Jika KIP gagal menjalankan tugasnya, bukan tidak mungkin mereka akan diberhentikan,” katanya.

Menurut Zulfikar, peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan gubernur harus dijalankan secara absolut oleh KIP dan DPRA.

Dia mengkritik tindakan kedua lembaga tersebut yang seakan-akan memperlakukan proses pemilihan sebagai ajang permainan politik. 

“Biarkan rakyat memilih secara adil dan bebas. Jangan ada pihak yang berusaha menjegal calon tertentu demi kepentingan politik. Tindakan seperti ini sangat memalukan dan mengkhianati demokrasi,” ujarnya.

Elemen sipil pun menyatakan kesiapan mereka untuk menghadapi hasil penetapan pasangan calon pada 22 September mendatang. 

“Jika kedua pasangan calon dinyatakan memenuhi syarat dan siap bertarung di Pilkada, kami akan mendukung proses tersebut dan menyerahkannya kepada rakyat. Namun, jika hanya ada satu pasangan yang diluluskan akibat rekayasa politik, elemen sipil siap untuk mendukung ‘tong kosong’ sebagai simbol perlawanan rakyat Aceh,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda