Sabtu, 31 Mei 2025
Beranda / Berita / Aceh / Empat Pulau Beralih ke Sumut, H. Asmaudin: Keputusan yang Menyakiti Rakyat Aceh Singkil

Empat Pulau Beralih ke Sumut, H. Asmaudin: Keputusan yang Menyakiti Rakyat Aceh Singkil

Kamis, 29 Mei 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Demokrat, H. Asmaudin. Tangkapan layar.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik alih status empat pulau yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, kini menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, mendapat sorotan tajam dari Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Fraksi Partai Demokrat, H. Asmaudin, SE.

Keempat pulau tersebut yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, kini tercatat secara resmi sebagai bagian dari wilayah administratif Sumatera Utara, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Namun, Asmaudin yang merupakan putra daerah Aceh Singkil dan pernah menduduki berbagai posisi strategis birokrasi di sana, dengan tegas menyatakan bahwa keempat pulau tersebut sejak dulu adalah bagian dari Aceh. 

Menurutnya, tidak ada catatan sejarah ataupun administrasi yang pernah menunjukkan bahwa wilayah itu berada di luar kekuasaan Aceh.

“Saya ini pernah menjabat Camat Singkil, Kadis Perhubungan, bahkan jadi Pj Bupati di Singkil. Saya hafal betul seluk-beluk wilayah itu. Selama saya bertugas, tidak pernah ada masalah batas wilayah di pulau-pulau tersebut. Mereka adalah bagian sah dari Aceh, dan seharusnya tetap begitu,” ujar Asmaudin.

Asmaudin juga mengingatkan pentingnya merujuk pada Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dalam menyelesaikan persoalan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Dalam MoU yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 itu, jelas disebutkan bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada peta tahun 1956.

“Dalam MoU Helsinki disepakati bahwa batas Aceh dikembalikan ke 1 Juli 1956. Kalau kita kembali ke titik itu, tidak ada keraguan bahwa keempat pulau ini adalah milik Aceh. Di sinilah pentingnya semua pihak patuh pada MoU, jangan malah mengangkangi kesepakatan yang menjadi fondasi damai Aceh pasca-konflik,” tegasnya.

Tidak hanya mempertanyakan keputusan Mendagri, Asmaudin juga menyindir keras sikap diam dan minimnya komunikasi dari Kementerian Dalam Negeri terkait penetapan kode wilayah baru tersebut.

“Yang sampai hari ini kami tidak habis pikir, kok pihak Kemendagri diam saja. Apa perlu kita ribut-ribut lagi, Pak? Jangan sampai kebijakan yang tidak dikaji mendalam ini justru menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat,” katanya.

Sebagai mantan birokrat, Asmaudin merasa keputusan sepihak tanpa melibatkan pemerintah daerah Aceh dan masyarakat lokal sangat tidak adil. 

Ia meminta para pejabat di Jakarta untuk membuka mata dan mendengarkan suara dari daerah, bukan hanya mengandalkan peta administratif yang bisa saja bias sejarah dan budaya.

Asmaudin yakin bahwa keempat pulau tersebut suatu saat akan kembali ke pangkuan Aceh. Ia meyakini bahwa masyarakat Aceh Singkil tidak akan tinggal diam dan akan terus memperjuangkan haknya atas wilayah tersebut.

“Doa masyarakat Singkil itu kuat. Itu daerah yang penuh berkah, tempat lahirnya ulama besar seperti Syekh Abdul Raouf as-Singkili. Jangan sepelekan kekuatan doa dan semangat masyarakat yang tahu sejarahnya,” ujarnya.

Ia juga meminta para pejabat Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, untuk bersikap tegas dan menyatukan barisan dalam memperjuangkan hak wilayah tersebut.

“Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal kehormatan Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Jangan biarkan jengkal tanah pun lepas tanpa upaya,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
hardiknas