kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Febri JBI: Aceh Butuh Juru Bahasa Isyarat yang Banyak

Febri JBI: Aceh Butuh Juru Bahasa Isyarat yang Banyak

Jum`at, 29 September 2023 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Febriana Ramadhani, Juru Bahasa Isyarat Provinsi Aceh. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh -Perbedaan kemampuan orang tuli kerap disalahpahami sebagai keadaan yang menutup akses dalam kehidupan sosial. Orang tuli mengalami kesulitan aksesibilitas yang meliputi banyak hal, seperti komunikasi sosial, layanan publik, media, dan pendidikan. 

Tidak semua orang memahami bahasa isyarat, bahkan tidak semua orang tuli mampu berbahasa isyarat secara lengkap. Umumnya bahasa isyarat yang dipahami hanya sebatas gestur berdasarkan budaya, misalnya mengangguk dan menggelengkan kepala. Ketidaktahuan masyarakat terhadap bahasa isyarat memang bukan masalah besar. Ketidaktahuan menjadi suatu masalah ketika diiringi sikap acuh tak acuh sehingga menimbulkan audisme.

Audisme merupakan diskriminasi dengan perspektif bahwa seseorang yang memiliki kemampuan mendengar dianggap lebih superior daripada orang yang kehilangan pendengaran. Orang Dengar ataupun Tuli sama-sama bisa memiliki perspektif tersebut. Contoh sikap audisme yaitu memaksa orang Tuli untuk berbicara, menganggap bahwa ketulian adalah kekurangan sehingga harus diperbaiki, dan mengutamakan orang Dengar daripada orang Tuli sampai tidak mempedulikan bahasa isyarat.

Menanggapi hal tersebut, Febriana Ramadhani yakni Juru Bahasa Isyarat Provinsi Aceh mengatakan, bahasa isyarat itu sangat penting. Kenapa? Sebab ada 19 juta masyarakat tuli di seluruh Indonesia. 

Mereka juga bagian dari masyarakat yang punya hak untuk dipenuhi kebutuhan dan dapat hidup layak seperti masyarakat lainnya. Bayangkan ketika teman tuli tidak bisa mengakses layanan publik. Apakah itu bisa disebut setara? Untuk bisa mewujudkan itu dibutuhkan adanya akses dan akomodasi layak bagi masyarakat tuli, yaitu bahasa isyarat untuk mempermudah teman tuli mendapatkan haknya.

Menurutnya, di Aceh sendiri sangat sedikit orang dengar yang bisa berbahasa isyarat. Teman dia sendiri hanya bisa dua orang itupun karena dia memiliki anggota keluarga tuli. Apalagi, beberapa hari yang lalu, tepat pada 23 September peringati Hari Bahasa Isyarat Internasional. Sudah dipastikan bahwa bahasa isyarat itu memang dibutuhkan, terlebih dalam ranah hukum, yakni korban kekerasan seksual dari masyarakat disabilitas (tidak bisa bicara).

"Sebenarnya di ranah hukum sendiri JBI (Juru Bicara Isyarat) sangat dibutuhkan ketika ada yang tuli dan ia mengalami kekerasan seksual, baik untuk pendampingan psikologis maupun pendampingan hukum," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Jumat (29/9/2023).

Ia juga berharap, semoga masyarakat Aceh khususnya menjadi semakin sadar terhadap bahasa isyarat. Juru Bahasa Isyarat bertambah banyak, menyediakan akses ramah disabilitas di ruang ruang publik, dan tidak ada lagi diskriminasi. [AU]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda