Selasa, 24 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / FKUB Aceh: Aceh Toleran, Bukan Seperti yang Dilaporkan

FKUB Aceh: Aceh Toleran, Bukan Seperti yang Dilaporkan

Senin, 23 Juni 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baim

Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, Idaman Sembiring. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lembaga riset independen SETARA Institute merilis hasil Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2024, yang menilai tingkat toleransi terhadap keberagaman di 94 kota di Indonesia. Dalam laporan itu, tiga kota di Aceh, Banda Aceh, Sabang, dan Lhokseumawe, kembali masuk dalam daftar 10 kota dengan skor toleransi terendah di Indonesia.

Namun, hasil tersebut mendapat tanggapan berbeda dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh. Salah satu anggotanya, Idaman Sembiring yang menilai temuan SETARA tidak mencerminkan kondisi nyata yang terjadi di lapangan.

“Kenyataannya di lapangan sangat bertolak belakang dengan apa yang dirilis. Hubungan antarumat beragama di Aceh itu cukup rukun, damai, dan toleran,” ujar Idaman kepada Dialeksis melalui sambungan langsung, Rabu (23/6/2025).

Menurut Idaman, tidak ada gangguan terhadap aktivitas ibadah umat non-Muslim di Aceh, termasuk di kota-kota yang disebut dalam laporan tersebut.

“Saya sendiri beribadah setiap Minggu dan tak pernah ada gangguan. Gereja kami pernah dipindahkan dari depan Kodim ke Jalan Pocut Baren, semua berjalan lancar, tak ada demo atau penolakan. Gereja Katolik di Panti Perak dan HKBP di Jalan Perangi pun berjalan seperti biasa,” ujarnya.

Idaman juga mencontohkan Sabang sebagai kota tujuan wisata yang ramah bagi semua kalangan, termasuk pengunjung non-Muslim.

“Setiap tahun, orang dari berbagai agama datang ke Sabang untuk rekreasi. Aman-aman saja. Itu bukti bahwa kami hidup berdampingan dengan damai,” tambah Idaman.

Soal penerapan Syariat Islam di Aceh, Idaman menegaskan bahwa itu hanya berlaku untuk warga Muslim dan tidak mempengaruhi umat agama lain. Ia bahkan menyatakan syariat Islam di Aceh memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial.

“Syariat Islam tidak berlaku bagi non-Muslim. Justru kami merasa terbantu. Di Aceh tidak ada tempat mabuk, tidak ada judi. Itu membuat kami, orang Kristen, juga lebih teguh menjalankan iman,” kata dia.

Lebih lanjut, Idaman menyayangkan kriteria penilaian SETARA Institute yang dinilainya tidak mempertimbangkan konteks budaya dan sosial Aceh secara menyeluruh. Ia juga menganggap bahwa hasil riset SETARA tidak dapat dijadikan representasi akurat mengenai kondisi masyarakat Aceh saat ini.

“Kami tidak tahu apa dasar mereka menilai. Seolah-olah kami ini tidak toleran. Padahal saya sudah 44 tahun tinggal di sini, dan tidak pernah sekalipun mengalami ketersinggungan dalam persoalan ibadah. Saya tinggal di Lampulo, yang dulunya basis GAM, dan mereka malah yang melindungi saya,” terang Idaman.

“Hasil riset tersebut tidak mencerminkan realitas kehidupan beragama masyarakat Aceh,” tambahnya.

Ia berharap kajian-kajian serupa ke depan dapat lebih mendalam dan kontekstual, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap daerah-daerah tertentu.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra