kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ganja Batal Dilegalkan Untuk Medis, Syaifullah: Masih Ada Alternatif Lainnya

Ganja Batal Dilegalkan Untuk Medis, Syaifullah: Masih Ada Alternatif Lainnya

Rabu, 27 Juli 2022 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Ilustrasi ganja. [Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ganja medis tetap tidak boleh digunakan untuk alasan kesehatan.

Hal tersebut dinyatakan MK dalam putusan perkara nomor: 106/PUU-XVIII/2020. MK dalam hal ini menolak uji formil UU Narkotika tentang pasal-pasal larangan penggunaan Narkotika golongan I.

"Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum. mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman pada persidangan virtual, Rabu (20/7)

Dengan demikian, ketentuan pasal pasal 6 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tidak berubah. Narkotika golongan-termasuk ganja medis-tidak diperbolehkan dikonsumsi meskipun untuk alasan medis.

Sementara itu, Syaifullah Muhammad, Kepala ARC-USK mengatakan, dari dunia akademis, sebagai peneliti tetap taat kepada putusan pemerintah.

“Sebenarnya dalam hal ini harus kita pahami terlebih dahulu, bukan lebih kepada melegalkan namun lebih kepada regulasinya, karena regulasi tersebut mengatur ganja itu yang dimana dipandang oleh pemerintah perlu untuk dikembangkan,” sebutnya kepada Dialeksis.com, Rabu (27/7/2022).

“Kita dari dunia akademik sudah sangat siap melakukan penelitian, mengkaji,” tambahnya.

Menurutnya, selama ini para peneliti tidak bisa melakukan penelitian karena tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut. Sehingga, informasi-informasi terkait dengan ganja pun relatif terbatas.

“Jika memang ganja ini dipandang penting untuk dilakukan kajian dan diteliti, maka perlu dibuat sebah regulasi yang mengatur hal tersebut, agar kalangan peneliti bisa bekerja untuk meneliti,” sebutnya.

Lanjutnya, kata Syaifullah, jika memang ganja sudah dilegalkan untuk kebutuhan medis atau sudah ada regulasinya, maka implementasinya tidak semudah yang dibayangkan.

“Yang sudah pasti dari setiap sudut maka harus dikawal dengan ketat sekali, karena ganja inikan sangat rawan dan ditakutkan akan disalahgunakan. Ganja ini masuk dalam kategori narkotika dan justru akan sangat berbahay jika tidak dikendalikan,” ungkapnya.

Kemudian, Ia menjelaskan, komponen kimia yang ada di Ganja itu merupakan hal lazim yang ada ditanaman. “Dan komponen-komponen tersebut bisa diekstrak dan yang beracun mungkin bisa dipisahkan dengan teknologi,” jelasnya.

Alternatif lainnya

Dikutip dari CNNIndonesia, pada 26 Juni lalu, seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta, menggelar aksi damai di kawasan Bundaran HI, Jakarta, saat Car Free Day. Dia membentangkan papan bertulis 'Tolong Anakku Butuh Ganja Medis'.

Perempuan itu, Santi Warastuti, memohon kepada MK untuk mengabulkan permohonan uji materi undang-undang tentang narkotika demi anaknya, Pika, yang mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak.

Pika, diketahui menderita kelainan otak Japanese encephalitis. Kondisi itu menyebabkan dia mengalami cerebral palsy. Ia membutuhkan ganja medis untuk mengatasi kejang akibat kondisi tersebut.

Dalam aksi damai itu, Santi mengingatkan bahwa dirinya telah bertahun-tahun menunggu putusan MK bersama dua ibu lain yang memiliki anak dengan kondisi serupa. Permohonan itu teregistrasi sejak 2020 dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020.

Syaifullah mengatakan Beberapa waktu lalu ada segilintir masyarakat yang melakukan unjuk rasa di publik yang mengharapkan agar ganja dapat dilegalkan untuk kebutuhan medis. Upaya-upaya yang dilakukan oleh ibu tersebut yang memperjuangkan agar anaknya dapat pengobatan didalam negeri dengan menggunakan ganja medis sudah dilakukan dengan maksimal.

“Mungkin bisa saja kita mencari alternatif lainnya untuk mengganti ganja dengan tanaman herbal lainnya yang itu tidak bersifat Psikotropika atau tidak bersifat narkotik,” sebutnya.

Misalkan dari dunia Atsiri, Syaifullah menyebutkan, seperti minyak nilam, minyak jeruk, minyak pala, seriwangi, dan masih banyak lagi.

“Minyak atsiri sudah banyak diperdagangkan, artinya jika Indonesia tidak menghalalkan ganja, maka dicoba ke atsiri-atsiri yang diperbolehkan, sebab ganja banyak mengandung komponen atsirinya, hanya saja ganja banyak mengandung THC (tetrahydrocannabinol), THC ini yang bersifat narkotik dan berbahaya,” jelasnya.

Tetapi, kata Syaifullah, mintak atsiri lainnya, banyak yang tidak mengandung komponen narkotik tersebut. Sehingga, terbuka peluang untuk dieksplorasi menjadi sumber-sumber obat alternatif.

Dirinya mencontohkan seperti minyak pala, ada komponen tertentu yaitu eugenol. Di Amerika Serikat komponen tersebut diekstrak dan digunakan untuk obat anti bius. “Tapi tentu ini perlu dikaji lebih mendalam,” tambahnya.

Namun, tentu dalam hal ini masih ada harapan besar bagi ibu-ibu yang anaknya sakit atau berkebutuhan ini bisa mengeksplor sumber-sumber obat dari minyak atsiri atau alternatif lainnya.

Teknologi Fraksinasi

“Ada namanya teknologi fraksinasi yang dimana memungkinkan memisahkan komponen-komponen kimia yang ada didalam minyak tertentu sehingga bisa terpisah-pisah, secara teori komponen THC tersebut, kemungkinan besar bisa dipisahkan,” kata Syaifullah.

Namun, Syaifullah menegaskan, tentu perlu adanya regulasi yang mengatur. “Kita sebagai peneliti tetap taat akan hukum, sehingga jika tak ada regulasi yang mengatur, maka sama saja kita tidak bisa melakukan penelitian atau kajian lebih lanjut,” sebutnya.

“Jika ditutup kemungkinan dilakukan penelitian, maka kami tidak bisa melakukan penelitian, kami juga tidak bisa melawan hukum disini,” tambahnya.

Ia mengatakan, di ARC-USK kita melakukan pemisahan-pemisahan senyawa, komponen kimia didalam minyak atsiri seperti minyak pala. “Itu bisa dipisah-pisahkan dengan teknologi fraksinasi,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda