kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / GeRAK Aceh Barat Pertanyakan Jaminan Penggunaan Jalan untuk Hauling Batubara PT AJB

GeRAK Aceh Barat Pertanyakan Jaminan Penggunaan Jalan untuk Hauling Batubara PT AJB

Sabtu, 06 Januari 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra. [Foto: dok pribadi]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat untuk segera memanggil pihak-pihak terkait atas aktifitas coul hauling batubara milik perusahaan Agrabudi Jasa Bersama (AJB) Aceh Barat yang diduga diangkut menuju ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 3-4 Nagan Raya.

"Legislatif harus segera memanggil dalam persoalan aktifitas hauling batubara milik perusahaan tambang PT AJB. Hal ini menjadi sangat penting, dimana dari kabar yang kami temukan dan kemudian mencuat ke publik. Bahwa disinyalir dan diduga, ada persoalan pokok yang kemudian menjadi persoalan serius bagi pemerintah daerah setempat," kata Edy dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Sabtu (6/1/2024).

Pertama, kata Edy, soal klaim jaminan biaya penggunaan jalan. Dimana, klaim pertama disampaikan oleh External Relation Government PT AJB Safran Arie Thama bersikeras mengeklaim, mengenai biaya penggunaan jalan sudah disetorkan ke Pemerintah Aceh Barat, sebesar Rp 6,2 miliar, sebagai jaminan.

Namun kemudian, klaim setoran tersebut, dibantah oleh Kepala Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Aceh Barat Zulyadi SE. Sepengetahuan dirinya, belum ada fee atau setoran biaya penggunaan jalan disetorkan PT AJB ke kas Pemda.

Menurut dia, penyetoran biaya wajib dan jaminan penggunaan jalan, pada hakikatnya harus didasari dengan adanya MoU antara PT AJB dan Pemkab Aceh Barat. Namun, MoU antara keduanya belum terselenggara.

"Sampai dengan hari ini, belum ada MoU dari mereka dengan Pemkab, tapi saya tidak tahu persis mengenai regulasi penggunaan jalan, berapa wajib disetorkan. Intinya, BPKD belum menerima setoran penggunaan jalan dari PT AJB," ujarnya.

Atas dasar itu, GeRAK sependapat dengan Kepala BPKD bahwa penyetoran harus disetorkan berdasarkan MoU yang melibatkan para pihak. Utamanya pemerintah daerah, atas fasilitas jalan yang digunakan oleh perusahaan. Bila sudah disetor, siapa penerima uang jaminan penggunaan jalan tersebut?

Kedua, GeRAK Aceh Barat juga mempertanyakan, apakah klaim yang dimaksudkan adalah memang sebesar Rp 6,2 miliar atas jalur lintasan yang dilalui oleh mobil angkut batubara milik perusahaan tambang tersebut? Kemudian, Jalur mana saja yang masuk dalam aktifitas coul hauling tersebut?

Edy mengingatkan agar pemerintah daerah benar-benar "smart" atas jaminan penempatan uang tersebut oleh perusahaan tambang batubara. Sepatutnya, mereka belajar atas kasus yang dulunya juga diklaim sudah ada penempatan uang jaminan milik perusahaan tambang PT Prima Bara Mahadana (PBM) yang angkanya mencapai Rp2,5 miliar dan hingga kini paska atas aktifitas hauling batubara oleh mereka tersebut, jalan hancur, namun realisasi perbaikan tak kunjung dilaksanakan!

"Jadi, jangan kembali terjebak, dan ibaratnya kami umpamakan "keledai" yang jatuh ditempat yang sama," tegasnya.

Kemudian, persoalan lain adalah menyangkut dengan pengangkutan batu bara melebihi kapasitas yang ditentukan, hingga tercecer ke jalan. Dari sebaran via media sebagaimana disebutkan oleh salah seorang anggota DPRK Aceh Barat, adanya tonase yang melebihi kapasitas angkut mobil.

"Atas banyaknya persoalan tersebut, kami mendesak agar legislatif memanggil segera memanggil pemerintah daerah dan pihak PT AJB guna meluruskan persoalan ini dan meminta pertanggungjawaban mereka. Apalagi soal klaim penempatan jaminan penggunaan jalan," imbuhnya.

Pemanggilan ini penting, kata Edy, karena akan membawa titik terang, siapa sebenarnya yang diduga asal "klaim," dan publik tahu secara terang benderang.

Edy tak menampik bahwa memang ini adalah sebuah investasi dalam hal membawa dampak pendapatan bagi daerah, namun tentunya itu harus dilakukan dengan investasi yang sehat dan sesuai kaidah aturan perundang-undangan, jangan kemudian seolah-olah bahwa investasi dapat menghalalkan cara apapun. Padahal, ketika timbul kerusakan, biaya untuk membangun dan merehab ulang, itu butuh biaya yang lebih besar.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda