kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / GeRAK Aceh Barat Terkait Aktifitas PT. PBM, Bila Tak Berizin, Maka Berpotensi Ilegal

GeRAK Aceh Barat Terkait Aktifitas PT. PBM, Bila Tak Berizin, Maka Berpotensi Ilegal

Jum`at, 03 Desember 2021 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Aceh Barat - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra meminta agar pemerintah provinsi melalui dinas Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) Aceh untuk tegas mengawal proses perizinan tambang dan tidak 'memble.'

Berasarkan rilis yang diterima Dialeksis.com, Jumat (3/12/2021), menurut hemat GeRAK Aceh Barat, apa yang disampaikan oleh Kepala Bidang Mineral dan Batubara Khairil Akbar yang menyatakan bahwa saat ini PT. Prima Bara Mahadana (PBM) sedang Menyusun rencana reklamasi yang baru tahun 2017-2021. 

Selanjutnya, sebagaimana dituliskan dalam media pada 26 November 2021 lalu, juga disebutkan bahwa PT. Prima Bara Mahadana (PBM) juga akan dikabarkan telah berkomitmen akan segera menyampaikan dokumen dan menempatkan jaminan reklamasi paling lambat minggu pertama bulan Desember 2021. 

Laporan terbaru yang kami dapatkan bahwa pada hari senin (29-November-2021) telah kembali dilakukan aktifitas houling dari Desa Batu Jaya SP3, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat menuju Pelabuhan Calang, Desa Bahagia, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Tidak kurang, dari hasil laporan dan juga sejumlah foto dokumentasi kami dapatkan, ada pembongkaran batubara dari truck angkut dengan muatan sekitar 8 ton di pelabuhan tersebut.

"Dasar itu pertama kami mempertanyakan soal izin legalitas stockpile atau penumpukan batubara di Pelabuhan Calang, tentunya dari pihak terkait, baik pemerintah daerah, provinsi hingga kementerian, apakah benar telah menyetujui dan mengeluarkan rekomendasi atau pemberian izin yang dikeluarkan secara resmi dan diberikan kepada PT. PBM! Seperti contoh, pada 2019, pemerintah pusat (ditingkat kementerian) mengeluarkan izin penggunaan sementara Terminal Khusus bagi PT. Mifa Bersaudara Di Desa Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat dan tercatat pula di duga tak kantongi izin, Stockpile batubara di Teluk Pandan, Kutai Timur disegel," ucapnya.

Selanjutnya, ada proses mekanisme yang berjalan dan itu harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tak boleh asal-asalan dan “gampang-gampangan.” Mengutip dari berita disebutkan bahwa pihaknya mengaku akan tetap menunggu rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup terkait perlakuan limbah batubara. Apalagi batubara merupakan salah satu barang yang berbahaya sehingga perlu mekanisme khusus untuk perlakuannya limbahnya dari instansi terkait. 

"Info yang kami dapat memang surat sudah masuk ke Dinas Lingkungan Hidup, namun balasannya yang belum kita terima," tutur Amru. 

"Jadi pada dasarnya, siapa pun bisa gunakan pelabuhan ini, namun tetap dengan aturan dan koridor yang sudah ditetapkan sehingga hal-hal yang tidak kita inginkan tidak muncul dikemudian hari," pungkas Amru selaku Pejabat Pembuat Komitmen Pelabuhan Calang. 

Terakhir, pada 02 Desember 2021, Kembali menyatakan bahwa pihak Pelabuhan Calang tak ada wewenang untuk menerbitkan izin stockpile penumpukan batubara terhadap PT. PBM. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini dibolehkan secara aturan dan tidak ada pihak manapun yang kemudian mencegah atau melakukan penghentian sementara bila semua hal menyangkut dengan legalitas terutama izin stockpile tersebut belum selesai dibereskan.

Kemudian, menjadi rancu bila sebuah izin lingkungan atau amdal berkaitan dengan stockpile batubara belum dikeluarkan, namun kemudian dengan terang-terangan menerima barang tersebut dan tidak ada langkah penghentian penolakan apapun dari pemerintah atau pihak berwajib atau syahbandar, bahkan dalam berita pada 02 Desember 2021 tersebut juga disebutkan bahwa mereka membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). 

Atas dasar itu, pertama kami mempertanyakan dasar pembayaran PNPB itu, karena menurut dugaan kami jelas itu illegal dan bila diterima maka kami menduga menimbulkan pungli dikarenakan izin stockpile belum diketahui dengan jelas asal usulnya. 

Yang kedua, patut dan wajib diketahui, bahwa pembayaran PNPB tidak menghentikan perusahaan untuk melengkapi legalitas dokumen tentang Amdal, atau izin lingkungan berkaitan dengan stockpile, jadi jangan melabrak begitu saja aturan yang berlaku, bila tidak bakar undang-undangnya atau undang-undang tersebut. 

Atas dasar itu, kami mendesak pihak pemerintah daerah menjelaskan ke publik agar tidak menimbulkan perspektif negative atas kejelasan izin.

Patut diketahui, apa yang kami sampaikan adalah amanah atau mandat dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang Kriteria Perubahan Usaha dan atau Kegiatan dan Tata Cara Perubahan Izin Lingkungan dan IUP-OP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP 23/2010). 

Sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Pasal 34 ayat (3) PP 23/2010 disebutkan bahwa IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Pasal 34 tersebut ayat (3) tersebut telah mengatur bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan tercakup dalam IUP-OP dan dasarnya ada empat syarat dalam pengajuan IUP-OP yakni, persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. 

Kami meminta pemerintah mengeluarkan pernyataan secara resmi ke publik dan harus terbuka dan benar-benar menegakkan aturan, mengingat kondisi saat ini, aktifitas bongkar muat sudah berjalan dan kami menduga ada ratusan ton batubara sudah tertumpuk didalam pelabuhan. 

Bahkan pada 20 November 2021 lalu, ada sekitar 50 truck lebih berbadan besar (roda 10) mengangkut batubara, bila kita melihat Permen Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26/2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan batubara, Pasal 3 ayat (1) Pemegang IUP Eksplorasi, IUPK Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, dan IUPK Operasi Produksi dalam setiap tahapan kegiatan Usaha Pertambangan wajib melaksanakan kaidah pertambangan yang baik. Ayat (2) Kaidah pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kaidah teknik pertambangan yang baik; dan b. tata kelola pengusahaan pertambangan.

Kita berharap, jangan sampai evaluasi izin tambang yang telah diakukan empat tahun sebelumnya menjadi sia-sia. Bahkan, pada 2016 silam, Bupati Aceh Barat HT Alaidinsyah menyatakan sudah mengusulkan ke gubernur untuk mencabut izin produksi (eksploitasi) dan salah satunya adalah PT. PBM. 

Sejak mengantongi izin produksi hingga waktu itu, perusahaan tersebut tidak beroperasi sehingga dinilai merugikan daerah. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan, apakah ini sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Kami menduga banyaknya izin tambang yang digunakan pemburu rente memanfaatkan untuk mencari keutungan semata. Dalam situasi berubah, dengan mudahnya izin berpindah tangan, atas dasar itu Pemerintah Aceh harus memastikan beneficial ownership dari pemelik tambang sebenarnya, jangan sampai kita mewariksan praktek tambang berkedok bisnis portofolio dari sebuah izin tambang.

"Kita berharap pemerintah tidak lepas tangan dan hanya memikirkan soal pemasukan, namun ketika masalah timbul, seperti tutup mata rapat-rapat dan berlalu begitu saja, seperti persoalan lahan yang belum selesai ganti rugi bagi pemilik tanah dilokasi pengambilan batubara," sebutnya.

Kami mencatat, bahwa PT PBM sudah vakum sangat lama, ditambah lagi dengan usulan oleh Bupati Aceh barat pada 2016 untuk mencabut izin, nyatanya kami tidak melihat ada tindakan yang patut dan harus dilakukan oleh ESDM Provinsi Aceh, dan faktanya, mereka baru mau diakhir 2021 melakukan eksploitasi pengambilan batubara yang masih juga meninggalkan persoalan yang belum selesai.

Catatan lain kami, bahwa selain dana jaminan reklamasi yang wajib diselesaikan, bahkan PT. PBM berdasarkan hasil supervisi tim koordinasi KPK-RI menemukan bukti bahwa perusahaan ini tidak membayar kewajiban sebagaimana aturan UU dan diduga telah menunggak pembayaran PNBP sektor pertambangan mineral dan batubara sebesar Rp. 267 juta.

Atas dasar itu kami menilai bahwa ada banyak pelanggaran aturan yang dilanggar dan dikangkangi, dan untuk ESDM Provinsi Aceh kami menduga telah mengangkangi Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12/INSTR/2020 tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Di Aceh. 

"Dimana Diktum Ketiga huruf b menyebutkan adanya tugas khusus kepada ESDM untuk melakukan pengelolaan usaha pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan benar. Pada huruf d disebutkan tentang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara di Aceh sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.

Kami juga menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Aceh tidak maksimal dalam melakukan pengawasan dilapangan, sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini, izin amdal milik PT. PBM diduga telah kadarluasa. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda