kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Gerakan Literasi Bencana Sebagai Edukasi Bencana

Gerakan Literasi Bencana Sebagai Edukasi Bencana

Kamis, 27 Desember 2018 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Sejumlah Jurnalis dari berbagai media dan kalangan mahasiswa tampak sedang mengikuti diskusi "Membangun Literasi Kebencanaan di Aceh", Kamis (27/12) yang digelar di kantor AJI. (Foto: Safrizal S.)

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Banda Aceh mengadakan diskusi tentang "Membangun Gerakan Literasi Kebencanaan di Aceh" di kantor AJI Banda Aceh, Kamis (27/12). Diskusi tersebut bertujuan untuk mengurangi jatuhnya korban jika bencana seperti tsunami kembali terjadi.

AJI menghadirkan Peneliti Gempa dan Tsunami asal Jepang, Megumi Sugimoto dan Jurnalis Kebencanaan dari Kompas, Ahmad Arif.

Bencana yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia menurut Ahmad Arfi adalah hal yang akan terulang kembali pada waktu yang tak dapat diprediksi dengan ketentuan hukum alam.

"Saya berfikir bahwa yang bisa saya lakukan sebagai wartawan ya membikin literasi bencana, menuliskan, mengingatkan kembali, menjelaskan mulai dari ancaman sampai apa yang harus dilakukan," ujarnya.

Dikatakan, edukasi dan mitigasi terhadap bencana itu harus gencar dilakukan oleh berbagai pihak, tak terkecuali media sebagai penyiaran informasi. Berawal dari ketidaktahuan soal bencana, dampak, serta banyaknya korban yang jatuh pada saat itu, ia berfikir untuk membikin literasi tentang bencana. Tsunami Aceh 2004 silam dikatakan menjadi sebuah awal untuk mendedikasikan dirinya sebagai Jurnalis Kebencanaan.

Ia menambahkan, pendidikan tentang kesiapsiagaan bencana menjadi tanggung jawab siapa saja. Namun ia menegaskan peran media dalam melakukan edukasi dan gerakan literasi tentang kebencanaan juga perlu dikembangkan bukan hanya di Aceh saja, namun juga di seluruh Indonesia.

Sementara itu Peneliti Gempa dan Tsunami asal Jepang, Megumi Sugimoto dalam pemaparannya mengatakan pasca tsunami 26 Desember 2004 silam, sebanyak 85 buah tugu berhasil dibangun di seluruh Aceh sejak tahun 2006 lalu. Pembangunan tugu bekerjasama dengan Prof Agus Salim dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan kampus Kyushu University, Jepang.

Tugu tersebut dibangun sebagai bentuk gerakan literasi bencana dan rekam jejak saat musibah tsunami melanda Aceh 2004 silam. Tinggi tugu dimaksud juga bervariasi menurut tinggi gelombang tsunami pada saat itu. Megumi Sugimoto merasa tugu itu kini tidak terawat dan terabaikan.

"Tapi sayangnya, tugu pertanda yang dibuat dengan dasar ketinggian akhir tsunami yang pernah melanda diabaikan oleh pemerintah daerah. Banyak yang terbengkalai. Hanya satu saya lihat terawat baik, lainnya tidak," ungkapnya.

Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media dan kalangan mahasiswa dari beragam kampus di Banda Aceh dan Aceh Besar. (saf)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda