DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Banda Aceh, H. Salman Arifin, S.Pd, M.Ag, menyoroti peran historis dan tantangan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari rahim masyarakat. Dalam dialog eksklusif, ia mengungkapkan bahwa madrasah tidak hanya menjadi simbol perjuangan umat Islam Indonesia, tetapi juga cerminan ketimpangan dukungan negara antara sekolah umum dan pendidikan berbasis keagamaan.
Salman menjelaskan, madrasah muncul sebagai antitesis dari sistem pendidikan sekuler yang dibawa Belanda.
"Sebelum Indonesia merdeka, pendidikan Islam sudah hidup dalam bentuk pesantren tradisional. Namun, kolonialisme memperkenalkan sekolah modern yang mengabaikan nilai-nilai agama. Di Aceh, bahkan muncul stigma 'bek jak sikula sebab jeut keu kafe' (jangan sekolah nanti jadi kafir), yang memicu kesadaran umat untuk mendirikan madrasah sebagai sintesis antara keislaman dan modernitas," ujanya kepada Dialeksis melalui keterangannya.
Ia menekankan, madrasah dibangun dari swadaya masyarakat: tanah wakaf, sumbangan bangunan, hingga tenaga guru.
"Ini murni grassroot movement. Bahkan setelah kemerdekaan, ketika sekolah Belanda diambil alih negara dan didanai penuh, madrasah tetap bergantung pada gotong royong umat. Baru belakangan, madrasah 'mengetuk pintu negara' untuk diakui, meski statusnya masih ambigu," tambah Salman.
Menurut Salman, ketimpangan masih terasa hingga kini. Pemerintah, kata dia, tidak pernah membangun madrasah dari nol seperti halnya SD Inpres atau SMA Negeri.
"MAN Insan Cendikia hanya ada empat di seluruh Indonesia. Selebihnya, madrasah berdiri di atas tanah wakaf dengan bangunan seadanya. Dana rehab dan sarana pembelajaran seperti komputer pun minim. Bahkan madrasah favorit di Banda Aceh sekalipun kesulitan memperoleh dana rehab karena tanahnya masih aset yayasan," paparnya.
Ia juga menyoroti rigiditas regulasi yang "mematikan semangat juang". "Otonomi Khusus (Otsus) Aceh pun tak bisa banyak membantu karena madrasah berada di bawah kementerian vertikal. Negara seperti hanya mengadopsi anak yatim tanpa memberinya hak waris. Alhasil, madrasah tetap miskin infrastruktur, sementara tanggung jawab moral masih dibebankan ke umat," tegasnya.
Salman mengakui bahwa zaman telah berubah. Dahulu, umat dengan tulus ikhlas menyumbang untuk madrasah. Kini, masyarakat cenderung lebih individualis, penuh amarah, dan skeptis. Mungkin semangat polos itu tergerus oleh otonomi khusus dan alokasi 20 persen dana pendidikan bagi daerah, sehingga banyak yang beranggapan, “Sekolah sudah gratis, mengapa madrasah masih harus bayar mahal?”
Padahal kata Salman, mereka tak menyadari adanya belenggu regulasi yang mengharamkan penggunaan dana daerah untuk madrasah. Seperti kaidah “patah titi” dalam hukum waris walaupun masih ada ikatan darah, secara hukum tidak berhak menerima warisan madrasah pun harus bertahan di pinggiran peradaban.
"Mereka mengabdi untuk anak umat tanpa harta warisan, terus berjuang dan menggalang kekuatan dari mana saja, agar pendidikan Islam tetap hidup di tengah umat dan relevan dengan realitas, tanpa kehilangan martabat serta identitas," ungkapnya.
Namun, ia mengapresiasi langkah progresif MIN 9 Banda Aceh yang mengembalikan seluruh biaya komite dan menerapkan kebijakan "atribut fleksibel".
"Kebebasan memakai seragam bukan sekadar kebijakan administratif, tapi bentuk penghormatan pada kondisi ekonomi wali murid. Ini harus menjadi contoh bagi madrasah lain," ucap Salman.
Di akhir wawancara, Salman berpesan: "Madrasah adalah benteng terakhir untuk melahirkan generasi yang merdeka dari mental kolonial, sekuler, dan rasis. Kepada pemerintah, kami berharap ada keberpihakan nyata alokasi anggaran khusus, pembangunan madrasah negeri dari nol, dan fleksibilitas regulasi. Kepada umat, mari rawat madrasah seperti merawat anak kandung. Ia mungkin tak semegah sekolah umum, tapi di sinilah jiwa bangsa ini dijaga."
Sebagai penutup, ia mengutip syair penyair Aceh: "Madrasahku, kecilku bersamamu. Di ruang sempitmu, kau ajarkan kami makna keabadian."