kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Hantu Orde Baru dalam Pilkada Aceh

Hantu Orde Baru dalam Pilkada Aceh

Rabu, 14 Agustus 2024 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dr. Otto Syamsuddin Ishak, sosiolog Universitas Syiah Kuala. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Dr. Otto Syamsuddin Ishak, seorang sosiolog dan akademisi dari Universitas Syiah Kuala (USK), mengungkapkan adanya indikasi kuat kembalinya pola-pola politik era Orde Baru dalam dinamika Pilkada di Aceh. Melalui penyampaiannya dengan Dialeksis, Dr. Otto menyatakan bahwa fenomena pencarian "surat tupe" oleh para kandidat Pilkada menjadi tanda utama dari reproduksi praktik politik masa lalu.

Menurut Dr. Otto, "Surat tupe" yang diperlukan untuk mencalonkan diri menjadi salah satu ciri dominan yang mencerminkan kembalinya pola lama. "Semua kandidat mencari surat tupai untuk mencalonkan diri. Bahkan, aktivis reformasi pun ikut terlibat dalam proses mendapatkan surat tersebut di Jakarta," ungkapnya kepada Dialeksis.com

Lebih lanjut, Dr. Otto menyoroti bagaimana para aktivis, terutama dari era reformasi 1998, tidak membaca situasi ini secara kritis, melainkan secara pragmatis. Hal ini, menurutnya, membuat mereka kembali masuk ke dalam skenario Orde Baru. 

"Para aktivis 98 tidak membacanya secara kritis tetapi membacanya secara pragmatis, sehingga mereka masuk lagi ke skenario Orde Baru," jelasnya.

Fenomena ini semakin diperkuat dengan keterlibatan partai politik besar seperti Gerindra dan Nasdem dalam proses pencalonan kandidat. Dr. Otto menyebutkan bahwa ketika Gerindra atau Nasdem mendominasi, maka "surat tupai" dari partai-partai tersebut menjadi sangat dibutuhkan oleh para kandidat. "Prinsipnya, jual beli surat tupai itu terjadi, dan itu sudah terjadi sejak pencalonan PJ baik pada level kabupaten/kota maupun provinsi," tambahnya.

Ketika ditanya mengenai konsekuensi dari dominasi "surat tupe", Dr. Otto menekankan bahwa hal ini tidak serta-merta memastikan kemenangan kandidat, tetapi lebih kepada menutup atau membuka peluang bagi kandidat lain untuk maju. 

"Bisa saja itu bukan memastikan kemenangan secara langsung, tetapi memastikan tertutup atau terbukanya pintu bagi kandidat lain untuk maju," kata Dr. Otto.

Dalam konteks perilaku sosiologi, dominasi dukungan kepada kandidat tertentu melalui "surat tupe" juga dapat mempengaruhi arah dukungan massa. Dr. Otto menyebutkan bahwa para kandidat bisa saja mencari "surat tupe" tidak hanya dari partai politik, tetapi juga dari tokoh-tokoh agama lokal seperti tengku di wilayah-wilayah daya di Aceh. "Di tingkat lokal, surat tupe dari tengku-tengku di dayah juga bisa menjadi faktor penentu dalam Pilkada," tutupnya.

Dinamika politik ini menunjukkan bahwa Pilkada Aceh bukan hanya soal siapa yang terpilih, tetapi juga bagaimana praktik-praktik politik masa lalu kembali muncul, mengubah lanskap politik lokal dan hubungannya dengan pusat. Selain itu kata Otto juga menperlihatkan integritas elite Aceh di dalam mengimplementasikan otsus Aceh, dan partai lokal.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda