DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wacana pemekaran Aceh Leuser Antara (ALA) sebagai provinsi baru kembali menuai kritik dari kalangan akademisi.
Hasan Basri, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon, menilai isu ini telah "diremehkan" oleh elit politik yang tidak serius memperjuangkannya. Dalam wawancara eksklusif, ia menyoroti lemahnya gerakan advokasi dan ketidakjelasan komitmen pemangku kepentingan.
Hasan Basri mengungkapkan, perdebatan pemekaran ALA telah berlangsung selama 26 tahun tanpa hasil konkret. Menurutnya, hal ini terjadi karena isu tersebut hanya dijadikan alat politik untuk kepentingan segelintir elit.
"Sebatas kepentingan seseorang, bukan keinginan masyarakat. Jika masyarakat benar-benar menginginkan, sudah tentu akan terjadi pergerakan massa yang maksimal," tegasnya.
Ia menambahkan, meski ada desakan moratorium, hal itu bisa dicabut jika "bargaining position" elit pengusung pemekaran kuat.
"Gerakan advokasi saat ini terkesan lemah di mata pemerintah pusat. Tanpa tekanan yang serius, isu ini hanya akan jadi permainan elite," ujarnya saat bertemu Dialeksis.com di Haba Café pada Selasa (29/4/2025).
Hasan menegaskan, gerakan pemekaran ALA tidak akan berarti tanpa dukungan struktural dan konsistensi.
"Jangan merajuk muncul ALA. Kalau tidak tuntas, jangan setengah-setengah. Advokasi harus dilakukan hingga provinsi benar-benar terbentuk," paparnya.
Ia membandingkan dengan program advokasi lintas sektor lain di Aceh, seperti Gerakan Keamanan Pangan Desa dan Komite Antikorupsi, yang melibatkan kolaborasi multipihak untuk hasil nyata.
Menurutnya, lemahnya advokasi pemekaran ALA disebabkan oleh minimnya partisipasi masyarakat dan ketiadaan data pendukung yang komprehensif.
"Advokasi kebijakan memerlukan analisis data, seperti yang dilakukan dalam lokakarya penguatan kapasitas analis kebijakan Aceh baru - baru ini. Tanpa itu, usulan pemekaran hanya akan dianggap retorika," jelasnya, merujuk pada inisiatif SKALA dan LAN dalam membangun rekomendasi berbasis bukti.
Sebagai akademisi di UGP perguruan tinggi yang telah berkontribusi dalam pembangunan SDM Aceh sejak 1986 Hasan menyatakan kesiapan kampusnya untuk terlibat dalam kajian mendalam terkait pemekaran ALA.
"UGP memiliki Fakultas FISIPOL dan Teknik yang bisa menyediakan analisis kebijakan berbasis data. Sayangnya, minimnya permintaan dari pemangku kebijakan membuat peran kami terbatas," ujarnya.
Ia juga mengkritik elit lokal yang tidak memanfaatkan potensi akademisi. "Advokasi efektif butuh sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan kampus. Lihatlah bagaimana HAkA berhasil mengadvokasi perlindungan Ekosistem Leuser melalui kolaborasi dengan akademisi dan LSM," tambahnya, merujuk pada kerja lembaga lingkungan HakA.
Hasan menyerukan transparansi dan komitmen jangka panjang. "Pemerintah pusat harus melihat ini sebagai upaya menciptakan kesejahteraan, bukan sekadar bagi - bagi kekuasaan. Sementara masyarakat perlu dididik untuk memahami dampak pemekaran, bukan hanya diiming-imingi janji politik," tegasnya.
Ia mencontohkan keberhasilan advokasi MoU Helsinki 2005 oleh DPRA, di mana kajian akademis dan tekanan politik berjalan beriringan.
"Pemekaran ALA harus dipandang sebagai proyek nasional, bukan hanya isu lokal. Jika tidak, Aceh akan terus terjebak dalam lingkaran konflik kepentingan," tutupnya. [arn]