kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Intervensi Psikologis Terhadap Arogansi Senioritas, Pihak Sekolah Wajib Tahu

Intervensi Psikologis Terhadap Arogansi Senioritas, Pihak Sekolah Wajib Tahu

Kamis, 02 September 2021 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Direktur Psikodista Konsultan Banda Aceh, Nur Jannah Alsharafy. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Usai dunia pendidikan Aceh diterpa kabar tak sedap mengenai penganiayaan yang menimpa 12 siswa kelas II SMUN di Pidie Jaya, kini kasus tersebut telah mendapat respons dari Dinas Pendidikan (Disdik) Pidie Jaya untuk memediasi kedua belah pihak.

Setelah didalami, tersingkap fakta bahwa aksi penganiayaan yang dilakukan oleh kakak kelas alias senior di sekolah tersebut diindikasi karena adik kelas ini tidak menghargainya sebagai kakak kelas.

Tentu saja diksi 'menghargai' ini menimbulkan problematika sosial dimana pengertian dihargai menjadi polemik saat diksi ini salah kaprah dimaknai sebagai wujud dari arogansi senioritas.

Menilik secara objektif, reporter Dialeksis.com berkesempatan melakukan sesi wawancara dengan seorang Psikolog di Banda Aceh untuk menakar bagaimana pemahaman sebenarnya dari relasi antara senior dan junior.

Direktur Psikodista Konsultan Banda Aceh, Nur Jannah Alsharafy mengatakan bahwa sikap arogan yang dimiliki senior bisa muncul karena 'tradisi turun temurun' dari pencetusan ide keliru sejak awal mengenai relasi senior-junior.

Kekeliruan ide tersebut, jelas Nur Jannah menyebabkan relasi antara senior-junior seperti relasi majikan dan budak yang bisa seenak jidat.

Nur Jannah melanjutkan, timbulnya perilaku kekerasan yang dilakukan senior ke junior bisa saja disebabkan karena perasaan frustasi. 

"Fenomena yang demikian bisa saja memicu sikap arogansi senioritas yang berujung pada aksi kekerasan," ujar Nur Jannah, Banda Aceh, Rabu (01/09/2021).

Perlu dipahami, kata Nur Jannah, perilaku kekerasan sifatnya 'menular.' Apabila sikap arogansi senioritas ini diimbangi dengan aksi kekerasan terhadap junior sehingga menjadi semacam habit (kebiasaan) atau sebuah tradisi, maka fenomena kekerasan antara senior dan junior akan sulit diputuskan.

Namun, kata Nur Jannah, terdapat intervensi psikologis yang bisa dilakukan pihak sekolah untuk menekan aksi-aksi kekerasan siswa. Cara yang bisa dicontoh ialah sebagai berikut.

Pertama, menciptakan iklim keterbukaan di sekolah, menjalin komunikasi yang sehat antara guru/pihak sekolah, siswa dan dengan wali murid.

Kedua, mengoptimalkan program konseling, peer counseling (konseling sebaya) serta kotak curhat bagi siswa, dan lain-lain.

Ketiga, menciptakan kegiatan positif bersama senior-junior. Hal ini bisa berdampak pada pengakraban relasi siswa. Kemudian juga bisa mengurangi rasa saling curiga, kekerasan, bullying, dan segala hal yang bersifat negatif antar senior-junior.

Kegiatan positif lainnya, jelas Nur Jannah bisa meliputi pendidikan karakter, salat berjamaah, pramuka, ngaji bersama antar senior-junior juga mampu mencairkan hubungan antara mereka.

Sekedar informasi, sikap arogansi senioritas atau istilahnya 'gila hormat' merupakan sebuah penyakit dalam patologi sosial. Penyakit ini apabila tidak dihilangkan akan membuat keharmonisan dalam lingkungan sosial menjadi berantakan. [akh]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda