Jauh Sebelum Indonesia, Beberapa Negara Islam Sudah Buat Aturan TOA Masjid
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Ilustrasi Toa Masjid. [Foto: JPNN.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Segala perkara yang berkenaan dengan agama selalu menjadi isu sensitif bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan begitu hangatnya pembicaraan terhadap aturan TOA di Masjid maupun Musala.
Bak gayung bersambut, kasak-kusuk Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala disambut dengan pro-kontra.
Bagi mereka yang kontra menganggap jika aturan ini adalah batasan dari syiar Islam. Sebaliknya, bagi mereka yang pro menganggap SE ini adalah bentuk representatif dalam merawat kebhinekaan sekaligus harmoni dan kohesi sosial.
Namun, tak hanya di Indonesia saja jika persoalan agama selalu berimbas pada dampak yang mengagetkan. Jauh sebelum SE Menag keluar, persoalan TOA sudah lebih dulu diperdebatkan oleh negara-negara Islam.
Pro-kontra tentang TOA sebelumnya pernah terjadi di Mesir. Mesir yang memiliki julukan sebagai negeri seribu menara juga tak luput dari isu sosial ini.
Dilansir dari laman Facebook Muchlis Hanafi, yakni seorang Doktor dalam bidang Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-quran lulusan dari Universitas Al-Azhar Kairo, ia menuliskan, salah seorang ulama terkemuka Mesir abad 20, Syeikh Mutawalli Sya’rawi pernah ditanyai soal TOA.
Sya’rawi menjawab, “TOA menjadi petaka terbesar umat di era modern.”
Hanafi bercerita, kegusaran yang dialami oleh Sya’rawi beralasan. Karena Mesir adalah negara ‘seribu menara’ masjid/musala berdekatan. Di saat azan tiba, keluar suara bertalu-talu dan sahut-sahutan.
Lebih-lebih di waktu pagi gulita. Padahal, kata Sya’rawi, ada orang sakit dan orang tua yang tidak bisa tidur sepanjang malam. Baru perlahan pulas menjelang subuh.
Kemudian, Hanafi dari beranda Facebooknya bercerita. Pada tahun 2004, Menteri Wakaf Mesir, Hamdi Zaqzuq pernah melontarkan gagasan “satu azan untuk semua.” Azan dikumandangkan oleh muazin di satu tempat, lalu disiarkan kepada masjid di wilayah yang waktu salatnya sama.
Lantas, pasca gagasan itu dilontarkan, warga Mesir serta kalangan ulama Al-Azhar juga menanggapinya dengan pro-kontra. Zaqzuq berkata, “satu azan untuk semua bukan bid’ah, karena tidak ada kaitannya dengan syariat.” Jumhur ulama membolehkan, karena hanya soal pengaturan saja.
Nah, Zaqzuq kemudian juga menyampaikan gagasannya itu kepada Menteri Agama Maftuh Basuni pada saat kunjungan ke Kairo tahun 2008. Soal gagasannya itu, Zaqzuq mendapat dukungan dari Mufti Mesir, Syeikh Ali Jum’ah. Akan tetapi koleganya di Jurusan Aqidah-Falsafah, Prof Ahmad al-Musayyar menudingnya akan menghilangkan syiar agama. Sehingga, pro-kontra tentang TOA di Mesir terus berkepanjangan.
Muchlis Hanafi melalui Facebooknya juga menuliskan pandangannya terhadap SE Menag No. 5/2022 itu. Hanafi mengatakan, SE Menag Republik Indonesia tidak se-ekstrem gagasan “satu azan untuk semua.”
Bahkan di beberapa negara Islam sudah lebih dulu mengatur tentang pengeras suara di Masjid/Musala. Umumnya dengan konsep “satu azan untuk semua.” Bahkan dari lembaran sejarah ada yang sukses diterapkan.
Hanafi melalui Facebooknya menuliskan, Uni Emirate Arab (UEA) yang pertama sukses menerapkan pada tahun 2004. Tidak tanggung-tanggung, lantunan azan dipancarkan melalui satelit untuk mengcover 1050 masjid.
Kemudian disusul Suriah pada tahun 2007, Palestina 2016 dan Yordania pada Oktober 2017. Lalu, yang terbaru Mei tahun 2021 di Saudi Arabia mengeluarkan aturan soal TOA.
Hanafi mengatakan, Menteri Urusan Islam, Dakwah dan Bimbingan, Syeikh Abdul Lathif al-Syeikh mengeluarkan SE agar suara yang keluar dari TOA hanya diperbolehkan saat azan dan iqamah. Bahkan, itu pun tidak boleh melebihi sepertiga suara maksimal TOA. Kemudian, yang melanggar juga akan ditindak secara hukum. Bahkan didukung oleh barisan Salafi-Wahabi. Sangat berbeda dengan SE Menag Republik Indonesia yang hanya berupa himbauan, tanpa sanksi hukuman.
Hanafi melalui Facebooknya juga mengaku sependapat dengan Alu al-Syeikh. Menurutnya, pengaturan terhadap pengeras suara di Masjid dan Musala perlu dihadirkan.
“Aturan tersebut, menurut Alu al-Syeikh, untuk mengurangi dampak mudarat TOA yang mengganggu orang-orang sakit, lanjut usia dan anak-anak di rumah-rumah sekitar Masjid, dan agar syiar azan tidak rusak oleh suara-suara yang saling beradu. Yang menjawab azan pun tidak bingung. Pengaturan penting untuk hadirkan syiar azan yang syahdu,” tulis Hanafi sebagaimana dikutip dari laman Facebooknya, Rabu (2/3/2022). [Akhyar]