DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Wacana pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) yang mencakup enam Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam kembali mencuat pascapertemuan Komite Pemekaran Provinsi ALA (KP3ALA) beberapa waktu lalu. Meski mendapat dukungan dari sejumlah tokoh dan masyarakat, rencana ini menuai kritik tajam dari akademisi yang menilai pemekaran bukan solusi fundamental bagi ketimpangan pembangunan di Aceh.
Ditanggapi oleh Teuku Kemal Fasya, akademisi Universitas Malikussaleh, dalam wawancara via WhatsApp (19/4/2025), mengungkap bahwa wacana ALA dan Aceh Barat Selatan (ABAS) muncul sebagai respons ketidakpuasan masyarakat wilayah non-pesisir terhadap sentralisasi pembangunan.
“Proyek nasional lebih banyak diarahkan ke wilayah pesisir atau daerah mayoritas etnis Aceh, sementara wilayah tengah dan barat daya seperti Gayo - Alas kerap terabaikan,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Sabtu (19/04/2025).
Namun, Kemal menegaskan bahwa akar persoalan tak lepas dari strategi politik. Ia menyebut ide ALA pertama kali muncul pada 1998 sebagai bagian dari “strategi kontra - intelijen” pemerintah untuk memecah konsentrasi daya tahan Aceh pascakonflik.
“Ini cara mengkerdilkan resiliensi Aceh melalui pemecahan wilayah,” tegasnya.
Kemal mengingatkan bahwa pemekaran provinsi kerap gagal menjawab masalah mendasar. Ia mencontohkan Papua, di mana pemekaran justru memperburuk monopoli isu oleh kelompok separatis dan meningkatkan anggaran infrastruktur tanpa hasil signifikan.
“Yang diuntungkan hanya elit politik, sementara ketertinggalan tetap tak teratasi,” paparnya.
Ia mendesak Pemerintah Aceh untuk lebih peka terhadap keberagaman etnis. “Aceh bukan hanya etnis Aceh. Ada delapan kelompok etnis lain seperti Gayo, Alas, dan Aneuk Jamee yang haknya harus diakui secara setara,” tegasnya.
Menurutnya, ketidakadilan ini tercermin dari kebijakan simbolis seperti penggunaan bahasa Aceh pesisir dalam Himne Aceh, sementara bahasa etnis minoritas diabaikan.
Kemal menilai wacana ALA - ABAS kerap mengemuka setiap lima tahun, terutama menjelang pemilu.
“Ini adalah alarm bahwa komunikasi lintas etnis di Aceh masih bermasalah. Pemimpin kerap menganggap Aceh identik dengan etnis Aceh, padahal provinsi ini multikultural,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah merumuskan ulang hubungan antaretnis secara adil dan demokratis, alih-alih terpancing isu pemekaran.
“Pembelahan Papua menjadi lima provinsi adalah contoh buruk yang harus dihindari. Aceh perlu belajar dari itu,” imbuhnya.
Sebagai alternatif, Kemal mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, merujuk sejarah Hamzah Fansuri, ketimbang memaksakan bahasa Aceh yang hanya dikuasai 60% penduduk.
“Keadilan bagi minoritas adalah kunci. Jika tidak, isu ketertinggalan akan terus jadi ‘bensin’ bagi politisi untuk memecah belah,” ungkapnya.
“Dengan kompleksitas sejarah, identitas, dan distribusi pembangunan, diskusi tentang ALA - ABAS diharapkan tak sekadar jadi alat politik sesaat, tetapi diarahkan pada penyelesaian akar masalah yakni pengakuan keberagaman dan pemerataan yang inklusif,” tutup Kemal Fasya.