Beranda / Berita / Aceh / Kemdiktisaintek Gandeng 30 Perguruan Tinggi Dukung Riset Pangan, Aceh Minta Perhatian Khusus

Kemdiktisaintek Gandeng 30 Perguruan Tinggi Dukung Riset Pangan, Aceh Minta Perhatian Khusus

Rabu, 26 Februari 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Akademisi Aceh. Dr. T. Saiful Bahri, S.P., M.P., Dosen Agribisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua PERHEPI Aceh sekaligus Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI) Aceh. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) menggandeng 30 perguruan tinggi dengan Fakultas Pertanian untuk memperkuat riset pangan nasional

Kolaborasi ini merupakan bagian dari upaya mendukung program swasembada pangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menteri Kemdiktisaintek, Brian Yuliarto, menegaskan bahwa kampus merupakan ujung tombak pengembangan kemandirian pangan. 

“Setiap kampus harus fokus pada dua strategi utama: peningkatan produktivitas dan hilirisasi hasil riset ke industri,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (13/10).

Namun, langkah strategis ini menuai sorotan dari akademisi Aceh. Dr. T. Saiful Bahri, S.P., M.P., Dosen Agribisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua PERHEPI Aceh sekaligus Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kopi Indonesia (DEKOPI) Aceh, menyatakan bahwa keterlibatan kampus di Aceh dalam riset pangan masih minim, padahal provinsi ini memiliki potensi komoditas pertanian strategis seperti padi, kopi, dan kakao.

“Aceh memiliki keunikan ekosistem pertanian yang belum tergarap optimal. Misalnya, varietas padi lokal Aceh seperti Aceh Meuria, Siputih dan Sigupai telah berkontribusi besar pada ketahanan pangan nasional. Begitu pula kopi Gayo yang sudah mendunia dan penyumbang terbesar devisa negara dari ekpor komoditas kopi arabica dan kakao Aceh yang dibudidaya hamper diseantero Bumi Aceh yang berpotensi menjadi komoditas ekspor andalan masa depan serta kelapa sawit sebagai penopang energi berkelanjutan dimasa depan. Sayangnya, dukungan riset dari pusat masih timpang,” tegas Saiful kepada Dialeksis saat dihubungi, Rabu (26/02/2025).

Disisi lain Aceh memeiliki keunikan tersedndir dalam pembiayaan, sehingga riset pembiayaan Syariah untuk pangan sangat penting dalam menunjang kemandirian pelaku usaha dalam rantai pasok pangan, baik disisi hulu maupun dihilir.

Ia menambahkan, minimnya perhatian Kemdiktisaintek terhadap kampus di Aceh justru kontraproduktif dengan visi swasembada pangan. Sebagai daerah pasca-konflik dan bencana tsunami, Aceh membutuhkan pendekatan khusus untuk membangun agribisnis yang berkelanjutan. 

“Pemerintah pusat harus melihat Aceh bukan hanya sebagai wilayah yang perlu direhabilitasi, tetapi sebagai hub inovasi pangan. Bagaimana mungkin swasembada pangan tercapai jika daerah dengan lahan subur dan biodiversitas melimpah justru terabaikan?” ujarnya.

Saiful mencontohkan, riset terpadu antara akademisi, petani, dan industri di Aceh bisa mempercepat pengembangan benih unggul, penanganan hama, serta teknologi pascapanen.

“Kami sudah memiliki grassroot innovation di tingkat petani, seperti sistem irigasi tradisional ie seu-ueb dan praktik agroforestri kopi. Namun, tanpa dukungan pendanaan dan sinergi kebijakan, inovasi ini sulit bermetamorfosis menjadi solusi nasional,” paparnya.

Ia mendesak Kemdiktisaintek membuka akses lebih luas bagi peneliti Aceh dalam skema pendanaan riset kompetitif, sekaligus memprioritaskan pembangunan laboratorium pertanian di wilayah tersebut. 

“Melibatkan Aceh bukan hanya tentang keadilan, tetapi juga strategi. Jika Aceh maju, maka Indonesia bisa memanen tiga keuntungan: ketahanan pangan, pemulihan ekonomi daerah, dan perdamaian berkelanjutan pasca-konflik,” tegas Saiful.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI