DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Kajian Strategis dan Advokasi Remaja Masjid Raya Baiturrahman (RMRB), Haris Darmawan, menilai bahwa makna kemerdekaan setiap 17 Agustus tidak boleh berhenti pada simbol dan seremoni.
Bendera yang dikibarkan, lagu kebangsaan yang dinyanyikan, dan upacara yang digelar memang penting sebagai pengingat sejarah, tetapi kemerdekaan sejati jauh lebih dalam dari itu.
“Kemerdekaan politik yang diproklamasikan para pendiri bangsa adalah pintu awal, bukan tujuan akhir. Ia bukan garis finish, melainkan garis start. Bangsa yang merdeka harus terus bergerak agar tidak jatuh dalam bentuk penjajahan baru baik secara ekonomi, budaya, maupun intelektual,” ujar Haris kepada media dialeksis.com, Minggu (17/8/2025).
Haris mengatakan bahwa salah satu dimensi paling mendasar dari kemerdekaan adalah kemerdekaan ilmu pengetahuan. Baginya, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang benar-benar merdeka.
“Tanpa penguasaan ilmu, kita hanya akan jadi konsumen. Kita tergantung pada hasil penelitian bangsa lain, teknologi bangsa lain, bahkan pada narasi yang mereka bangun. Itu bentuk penjajahan modern,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa ruang-ruang akademik di Indonesia seharusnya menjadi laboratorium kemerdekaan intelektual. Di sana, mahasiswa dan peneliti berani menguji ide-ide tanpa takut salah, tanpa takut dibungkam.
“Dalam dunia ilmu, kebenaran bukan monopoli satu pihak. Harus ada keberanian untuk berpikir kritis. Kalau kita hanya menghafal teori tanpa menantangnya, kita belum merdeka,” katanya.
Selain ilmu, kemerdekaan juga bermakna kebebasan dalam berkarya. Menurut Haris, karya adalah ekspresi paling otentik dari manusia. Melalui puisi, penelitian, inovasi, atau seni, seseorang meninggalkan jejak peradaban. Namun, ia menyoroti fenomena generasi digital yang terjebak pada popularitas instan.
“Hari ini, banyak orang menilai karya dari jumlah like atau seberapa viral di media sosial. Padahal substansi karya tidak bisa diukur dari itu. Merdeka dalam berkarya berarti jujur pada hati, berkarya untuk manfaat, bukan semata pujian,” jelasnya.
Haris juga mengatakan pentingnya kemerdekaan spiritual. Menurutnya, banyak orang terlihat bebas secara lahiriah, tetapi sesungguhnya masih terbelenggu oleh ego, ambisi, dan nafsu.
“Kemerdekaan spiritual itu kemampuan mengendalikan diri. Bukan berarti meninggalkan dunia, tapi menata hidup dalam bingkai pengabdian. Kalau bangsa hanya mengejar materi tanpa nilai moral, kemerdekaan akan berubah jadi kebebasan liar,” tegas Haris.
Aktivis muda ini juga melihat persoalan keadilan sosial. Baginya, kemerdekaan sejati tak boleh hanya dinikmati segelintir orang.
“Tidak ada artinya merdeka kalau masih ada rakyat yang terpinggirkan. Kemerdekaan harus membebaskan dari kemiskinan struktural, diskriminasi, dan ketidakadilan. Generasi muda punya tanggung jawab memastikan kemerdekaan itu dirasakan bersama,” katanya.
Dalam era globalisasi, Haris melihat ancaman penjajahan hadir dalam bentuk baru: budaya populer. Invasi datang lewat hiburan, gaya hidup, dan pola pikir.
“Merdeka dalam budaya artinya bisa menyaring. Kita boleh ambil sisi positif globalisasi, tapi jangan sampai kehilangan akar tradisi. Generasi muda harus menjaga identitas bangsa,” ujarnya.
Selain itu, kemerdekaan di era digital juga menghadapi tantangan baru: derasnya arus informasi. Internet yang seharusnya membebaskan justru bisa memperbudak melalui hoaks, ujaran kebencian, dan candu media sosial.
“Merdeka itu bukan berarti bebas melakukan apa saja di dunia maya. Justru di era digital, kita dituntut lebih bertanggung jawab. Gunakan teknologi untuk pencerahan, bukan perpecahan,” katanya.
Haris berharap bahwa kemerdekaan sejati adalah perjalanan yang tak pernah berakhir. Setiap generasi punya tantangannya sendiri.
“Generasi pendahulu berjuang melawan penjajah dengan senjata. Generasi hari ini berjuang melawan kebodohan, ketidakadilan, dan penjajahan modern dalam berbagai bentuk. Kemerdekaan adalah amanah, bukan sekadar euforia. Ia harus dijaga, diperjuangkan, dan diwariskan,” pungkasnya. [nh]