kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kemiskinan di Aceh, Pakar Ekonomi: Mau Kerja Mereka Nggak Tahu Harus Kemana

Kemiskinan di Aceh, Pakar Ekonomi: Mau Kerja Mereka Nggak Tahu Harus Kemana

Selasa, 26 Juli 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Pakar Ekonomi Aceh, Rustam Effendi. [Foto: Ist]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Merujuk sumber data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, pada tahun 2022 terdapat 67,90 persen dari kelompok miskin di Aceh itu terdiri dari orang-orang yang tidak bekerja.

Pakar Ekonomi Aceh, Rustam Effendi mengatakan, ada dua faktor yang mengakar pada penyebab kelompok miskin di Aceh terdiri dari orang-orang tidak bekerja, diantaranya faktor kultural dan faktor struktural.

Secara rinci, klasifikasi kemiskinan kultural menurut Rustam disebabkan oleh budaya dalam sebuah wilayah. Ia menyontohkan semisal orang-orang yang tidak memiliki semangat etos kerja, bangun pagi kesiangan, suka nongkrong dan segala macamnya.

Selama dirinya berada di Tokyo, Jepang, Rustam tidak pernah melihat orang suka berleha-leha di sebuah warung kopi. Setiap paginya, rutinitas penduduk Jepang selalu berangkat kerja. Baru di saat pulang kerja, orang-orang Jepang menyempatkan waktu bersantai ria di warung kopi.

Sementara itu, klasifikasi kemiskinan selanjutnya disebabkan oleh faktor struktural, yaitu kemiskinan yang tercipta dari arah pembangunan daerah yang tidak membuka akses kepada si miskin untuk mendapatkan peluang pekerjaan.

Menurut Rustam, basis utama lapangan pekerjaan di Aceh berada di sektor pertanian, karena umumnya pekerjaan masyarakat adalah petani. Jika sentuhan APBA/APBK lebih dimaksimalkan ke sektor pertanian, maka upaya pengentasan kemiskinan akan sangat terbantu karena dimulai dari tingkat perdesaan.

“Kalau kita bangun pertanian yang bagus, itu sudah sangat membantu membuka lapangan kerja di perdesaan,” ujarnya kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (26/7/2022).

Di samping itu, Rustam menegaskan bahwa kemiskinan yang terjadi di Aceh lebih dominan disebabkan oleh faktor struktural, bukan karena faktor kultural. 

Ungkapan ini disampaikan Rustam karena selaku akademisi di salah satu perguruan tinggi di Aceh, ia sering mendengar keluh kesah mahasiswanya yang mengungkapkan bahwa mereka pasca lulus kuliah tidak tahu harus pergi kemana.

“Mau kerja mereka nggak tahu harus kemana, karena di kita belum banyak pihak swasta yang masuk. Tidak ada investasi yang besar. Kalau di Medan banyak. Banyak toke-toke yang buka ini dan buka itu. Kalau di Aceh kan sangat minim,” ungkapnya.

Dalam hal ini, lanjut dia, program yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh selama ini tidak membuka akses ke lapangan pekerjaan. Penguatan ekonomi daerah yang dilakukan hanya berfokus pada belanja pemerintah.

“Kita selama ini hidup pada APBD. Ekonomi kita adalah ekonomi APBD, bukan ekonomi swasta,” ungkapnya.

Di sisi lain, Pakar Ekonomi Aceh itu sepakat dengan pemerintah yang memberdayakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai wujud dalam upaya pengentasan kemiskinan daerah.

Namun, tegas dia, pemberdayaan UMKM Aceh jangan hanya sekedar pelatihan semata, melainkan pemerintah perlu mensupport (mendukung) pelaku UMKM ini dengan pembiayaan-pembiayaan modal.

“Kalau pelaku UMKM ada masalah permodalan, mari kita sediakan akses pembiayaan tersebut supaya dia punya modal. Anak-anak muda kita begitu tamat kuliah bisa memacu usaha start-up, dia bisa bangun usaha. Tapi kita support dengan modal, kita latih dia dengan marketing, agar menghasilkan,” pungkasnya. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda