kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Minggu, 16 Januari 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizki

Tangkapan layar YouTube Channel tvriacehofficial yang mendiskusikan "Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh". 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Provinsi Aceh mendapatkan dua status yang bersamaan, yaitu otonomi khusus dan keistimewaan Aceh, lantas hal apa yang mendasari pembuatan qanun dan bendera sebagai lambang Aceh.

Hal itu diungkapkan akademisi Hukum Tata Negara Universitas Syiah Kuala (USK), Kurniawan SH LLM, Jumat (14/1/2022) di Kanal YouTube tvriacehofficial terkait “Kepastian Hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh”.

Kurniawan mengatakan, sebelum berbicara qanun dan bendera, ia melihat apa dasar Aceh membuat hal tersebut.

"Apakah itu kehendak semata-mata hanya parlemen dan landasan saja? Jangan lupa pada pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara mengakui satuan pemerintah daerah dan pemerintah bersifat khusus atau istimewa," ujarnya.

“Aceh satu-satunya daerah Indonesia yang mendapat kedua status pemerintahan secara bersaman yaitu otonomi khusus dan keistimewaan Aceh, jadi kekhususan dan keistimewaan itu diatur dengan UU Nomor 11 Tahun 2006,” ucapnya dalam diskusi virtual itu yang dilansir oleh Dialeksis.com, Minggu (16/1/2022).

Sementara itu, Sosiolog Aceh, Dr. Otto Syamsuddin juga menyampaikan, bendera itu lambang, jadi apakah ada nilai politik dalam mengintegrasikan Aceh atau tidak? Karena baginya aspirasi rakyat dengan suara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu berbeda.

“Kalau suara memang terpenuhi, tapi aspirasi terpenuhi atau tidak? Jangan dilupakan antara legislasi dan politik meski pemerintah memberikan ruang kepada DPR itu sendiri, tujuannya untuk membuat aturan bagaimana kita menjalankan dan mengelola pemerintahan,” ucap Dr. Otto.

Ia juga menyebutkan, solusi itu ada dua. Pertama, Mou Helsinki menyediakan ruang-ruang implementasi untuk menyelesaikan hambatan.

“Itu mati, ngak dijalankan, berarti ditutup,” tegasnya.

Kedua, negosiasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, ini berjalan atau tidak, kalau kembali ke masa lalu, Aceh ini punya kemampuan diplomasi yang tinggi.

 “Apakah tidak jalannya negosiasi ini menunjukkan kemerosotan generasi sekarang dalam dimensi politik,” pungkasnya. [AU]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda