kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kesalahan Aparat Penegak Hukum dalam Melindungi Korban Kekerasan Seksual

Kesalahan Aparat Penegak Hukum dalam Melindungi Korban Kekerasan Seksual

Kamis, 14 Juli 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aldha Firmansyah

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia. [Foto: For Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia menyatakan, kasus kekerasan seksual memang tidak boleh dilakukan upaya damai, karena di UU TPKS tidak hanya berfokus pada menghukum pelaku tapi juga mengatur bagaimana melindungi korban. 

Menurutnya, ada dua yang membuat perbedaan antara penanganan kekerasan seksual dalam KUHP dan UU TPKS. Dalam KUHP hanya berbicara bagaimana menghukum pelaku. Namun, di UU TPKS berbicara tentang bagaimana menghukum pelaku dan melindungi korban. 

Ia melanjutkan, semisal seperti hak pemulihan korban, jaminan perlindungan sosial. Hal-hal seperti ini lebih diatur di UU TPKS dan diatur secara luas. Terkait kekerasan seksual pada anak kembali lagi pada UU anak, karena UU TPKS tidak berlaku pada anak. Maka, kalau dilihat dari UU perlindungan anak setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi tidak di UU TPKS.

“Seluruh kekerasan yang dialami oleh anak maka negara wajib berperan untuk beberapa hal, seperti menghukum pelaku, mewujudkan pemulihan korban, dan jaminan sosial. Artinya jaminan sosial ini bukan dalam bentuk uang, tapi ketika korban kembali ke lingkungannya korban tidak dibully oleh orang di sekitarnya, karena dia sudah mengalami kekerasan seksual,” ujarnya kepada media Dialeksis.com, Rabu (13/7/2022).

Di sisi lain, Syahrul mengatakan, UU perlindungan anak menjamin bahwa yang menjadi korban harus dihindari dari segala bentuk perlakuan kekerasan ganda, salah satunya bullying. Jika dilihat lebih lanjut, kepala desa memiliki peran untuk itu.

Menurut Syahrul, pembullyan memang rentan terjadi pada anak yang menjadi korban kekerasan sehingga mereka putus sekolah. Pada lingkungan sekolah pihak manajemen sekolah untuk melakukan pencegahan untuk terjadinya bullying terhadap anak yang pernah menjadi korban kekerasan seksual.  

“UU perlindungan anak jika diaplikasikan sampai ke tingkat desa, maka perangkat desa memiliki tanggung jawab dan peran untuk melindungi. Agar pencegahan terhadap kegiatan-kegiatan atau bullying serta kekerasan ke anak tidak kembali terjadi,” tegasnya. 

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh itu mengatakan, alasan korban tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan keadilan hukum karena terjadi kekosongan pandangan hukum dari aparat penegak hukum di setiap kasus. Seharusnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus tidak hanya melihat pasal tindak pidananya. Tapi juga melihat pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan dan pemulihan hak korban. 

 Menurutnya, aparat penegak hukum selama ini dalam menangani kasus, seperti kasus kekerasan seksual yang dilihat oleh polisi hanya pasal kekerasan. Padahal kasus seksual jika dibaca secara keseluruhan pasal kekerasan seksual itu, tidak bisa dipisahkan dengan pasal-pasal lain.

Dalam hal restitusi, kata dia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 terkait dengan hak pemulihan korban. Pasal lanjutan ini tidak dinilai oleh penegak hukum sehingga, penegak hukum hanya fokus bagaimana menghukum pelaku. 

“Padahal anak yang menjadi korban berhak mendapatkan pemulihan, hak ganti rugi atas tindak pidana yang dialaminya. Ada cara membaca UU yang salah menurut kita oleh aparat penegak hukum. Jadi, tidak dibaca UU secara konferensif. Kita hanya menggunakan pasal yang bersangkutan saja, pasal yang berkaitan mereka tidak melihatnya. Inilah yang kemudian menimbulkan masalah seakan-akan Negara tidak adil dalam pemulihan,” ungkapnya.

Dalam Paparannya, negara dan penegak hukum harus konsisten terhadap UU yang telah disahkan. Maka, setiap korban diwajibkan untuk melakukan pemullihan. Setelah dilakukan pemulihan dilanjutkan dengan tindak lanjuti tindak penegakan hukum.

“Dalam UU sudah jelas bahwa sembari pemeriksaan itu korban juga harus di pulihkan karena tidak mungkin jika dia belum dipulihkan secara psikologis dan fisiknya maka diteruskan dalam penegakan hukum, kan tidak mungkin orang belum siap,masih sakit. Selama ini yang kita lihat penegak hukum mengabaikan hak pemulihan padahal secara UU pemulihan itu harus dilakukan berbarengan,” tutupnya. [AF]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda