DIALEKSIS.COM | Labuhan Haji - Malam itu, udara Labuhan Haji terasa lebih sejuk dari biasanya. Di lorong sempit Dayah Darul Ilham, hanya lampu sederhana yang menerangi asrama putra dan putri. Di balik kesederhanaan itulah para santri menimba ilmu, bukan sekadar teori dalam kitab, melainkan praktik hidup sederhana yang menjadi inti pendidikan di dayah ini.
Pada malam Rabu, 13 Mei 2025, Dr. Teuku Zulkhairi, M.A., Wakil Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh, melangkah memasuki kompleks dayah yang berlokasi di Gampong Padang Bakau, Kecamatan Labuhan Haji. Di sana, ia menjumpai bilik santri yang sederhana sepotong tikar, bantal seadanya, dan rak kayu usang sebagai tempat kitab dan barang pribadi.
“Pemandangan seperti ini bukan semata-mata soal keterbatasan fasilitas, tetapi sebuah metode mendidik kesederhanaan,” ungkapnya.
Dayah Darul Ilham membuka pintu bagi santri dari keluarga kurang mampu tanpa biaya pendidikan sama sekali. Semua kebutuhan santri mulai makan, tempat tinggal, hingga kitab -- ditanggung sepenuhnya. Bahkan, bila para guru dayah hendak menikah, maharnya diurus oleh pengelola dayah. Hal ini menggambarkan komitmen lembaga dalam menegakkan prinsip keadilan sosial dan meringankan beban umat.
Untuk menopang operasional, dayah ini menjalankan usaha air minum kemasan bernama Asyfiat. Produknya telah didistribusikan ke beberapa kecamatan di Aceh Selatan.
“Usaha ini bukan semata cari keuntungan, tapi sarana melatih santri mengelola bisnis sederhana sehingga kelak punya bekal kemandirian,” jelas Tgk Ar-Razi Imsal, pimpinan dayah.
Menurut Dr. Zulkhairi, praktik hidup sederhana dari fasilitas asrama hingga pola pengajaran, membentuk karakter santri agar terbiasa bersyukur dan menolak pemborosan.
“Banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme lahir dari mereka yang tak terlatih hidup sederhana. Di sinilah santri belajar tawadhu," tuturnya.
Nilai kesederhanaan ini sejalan dengan teladan Rasulullah Saw., yang hidupnya sederhana meski berada di puncak kekuasaan.
Masih dari kisah Dr. Zulkhairi, para santri di Dayah Darul Ilham tidak hanya bergumul dengan kitab kuning, tetapi juga terjun langsung mengelola asrama, bisnis Asyfiat, dan kegiatan sehari - hari. Metode belajar “dual track” ini membekali mereka ilmu syariat sekaligus keterampilan pragmatis. Dengan demikian, santri tidak hanya paham teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui hidup sederhana, santri didorong untuk lebih memprioritaskan ibadah dan persiapan akhirat.
“Kesederhanaan mengajarkan kita bahwa nikmat terbesar tidak selalu soal harta, melainkan ketenangan hati dan kedekatan dengan Sang Pencipta,” kata Dr. Zulkhairi menutup kunjungannya. Wallahu a’lam bish-shawab. [arn]